ART- ku Selingkuhan Suamiku
Cerpen Karya: Yunia Nasm
Editor : Loh
Jantungku berdebar kencang. Ketika berdiri di depan pintu kamar. Tidak ada suara apapun di dalam sana. Hening.
Aku bergegas membuka pintu secara kasar sehingga membuat daun pintu itu menimbulkan suara keras karena menghantam dinding sehingga membuatnya kaget ….
Iya, Nuri tampak terkejut dengan kedatanganku.
Nuri, Asisten Rumah Tangga (ART)ku yang baru bekerja beberapa bulan saja di rumahku tega menikamku dari belakang.
“Dasar tidak tahu diri,” keluhku.
Dia bergegas menarik selimut untuk menutupi separuh tubuhnya yang tidak mengenakan benang sehelai pun. Sementara dari dalam kamar mandi keluar laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada, laki-laki yang hampir sewindu menjalani biduk rumah tangga denganku tega mengkhianati ikrar suci pernikahan kami.
Sepertinya mereka telah selesai melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan itu di atas tempat tidurku.
Mas Bian tega bermain api dengan seorang pembantu di rumahku. Ternyata kecurigaanku benar. Kejadian demi kejadian aneh yang selama ini aku rasakan bukan hanya pikiran buruk saja. Teka-teki selama ini terjawab sudah.
“Berani-beraninya kalian melakukan ini di belakangku,” pekikku lantang.
Rasanya air mata ini terlalu berharga jika harus aku keluarkan untuk menangisi manusia tidak tahu diri ini. Entah dari mana aku mendapatkan kekuatan.
Meskipun dari dalam sini rasanya sakit dan perih bagaikan teriris belati, aku mencoba untuk kuat menghadapi.
“Sayang, ini tidak seperti yang kamu lihat, Mas, bisa jelaskan,” ujar Mas Bian suamiku.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, semua sudah terlihat jelas Mas,” tandasku.
Mataku menatap tajam ART tidak tahu diri itu. Dia tampak blingsatan memunguti pakaian yang masih berceceran di lantai.
“Lihat, wanita jalangmu itu, apa itu tidak cukup untuk menjelaskan perbuatan yang sudah kalian lakukan di sini, di kamarku,” teriakku penuh emosi.
“Kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumahku, Nuri. Sudah tidak ada lagi maaf untukmu,” ucapku lantang tanpa memandang wajahnya sedikitpun. aku tidak sudi!
Nuri tampak berlari ke luar dari kamarku.
“Sayang, aku mohon jangan usir Nuri. Ini bisa kita bicarakan baik-baik,” pinta suamiku.
“Bicara baik-baik katamu, Mas?!”
Mas Bian menggangguk. “Aku mencintai dia, Sayang.”
Deg! Jantungku seakan berhenti sepersekian detik mendengar apa yang diucapkan Mas Bian.
“Ceraikan aku, Mas. Setelah itu silahkan lanjutkan hubunganmu dengan wanita jalang itu,” seruku.
“Tidak, aku tidak akan menceraikanmu, aku tidak mau kehilangan kalian berdua,” sahut Mas Bian.
Aku mendengkus kesal, dasar laki-laki serakah!
Maunya enak sendiri.
“Sayang, nanti kita bicarakan lagi!”
Mas Bian menyahut pakaiannya yang masih berserakan di lantai lalu berlari ke luar, karena mendengar pintu yang ditutup dengan keras. Dia hendak mengejar wanita jalang itu.
Aku menutup kembali pintu kamar ini menyendiri di dalam kamar. Ini adalah saat yang tepat untuk menumpahkan semua kekesalan dan amarahku setelah Mas Bian pergi. Aku tak mau terlihat lemah di depannya.
Aku masih terkulai di balik pintu sambil memeluk lutut. Menangis sejadinya sehingga membuat aku tertidur sampai adzan berkumandang.
Aku mengerjapkan mata mencoba melihat jam yang melingkar ditangan kananku pukul setengah 6 petang.
Aku membasuh muka secara perlahan, memandangi wajah di dalam cermin wastafel. Apa iya aku sudah tidak menarik baginya, sehingga dia berselingkuh di belakangku, dengan seorang ART pula?
Kemudian aku bergegas untuk mandi, supaya lebih segar. Aku harus menghadapi semua ini.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Bian yang ke luar sejak petang tadi belum kembali. Biarlah, aku sudah muak memikirkan dia. Jika memang nanti dia kembali berarti dia masih suamiku, jika tidak kembali aku akan segera urus perceraian kita. Aku sudah tidak mau ribet. Aku ingin hidup tenang.
Aku mendongakkan wajah ketika melihat pintu kamar terbuka.
Mas Bian, Dia ternyata kembali.
Aku berusaha sedikit menurunkan egoku, karena saat ini statusnya masih suami sa
hku.
“Sudah makan, Mas?” tanyaku kepada Mas Bian dengan ekspresi datar, ketika dia mendekat dan duduk di tepi tempat tidur berukuran king size ini.
Aku sudah mengganti seprai dan bed cover tempat tidurku tidak sudi aku memakai bekas mereka tadi. Jijik rasanya.
“Kamu sudah tidak marah, Sayang,” tanya Mas Bian.
Aku hanya bergeming memilih tidak menanggapi pertanyaannya.
“Aku bikinkan mi rebus mau, Mas,” aku menawari.
“Mau, Sayang,” jawab suamiku.
“Kalau gitu mandi dulu aku tunggu di bawah,” saranku.
Tanpa menunggu jawaban Mas Bian, aku langsung berlalu pergi.
***
“Sayang, ada yang ingin Mas sampaikan padamu,” ucapnya mengawali pembicaraan ketika kami telah selesai menyantap mi rebus masing-masing.
Aku bergeming lalu berdiri membawa mangkuk bekas makan kami menuju wastafel kemudian mencucinya. Sementara Mas Bian tampak mengikuti langkahku.
“Sayang,” panggilnya lagi.
Rasanya aku jijik mendengar panggilan sayang itu. Dulu, memang panggilan itu hanya di tujukan untukku dan membuat aku terbuai tapi sekarang ….
Aku membersihkan tangan dengan tisu lalu hendak berlalu pergi tapi Mas Bian mencegahku.
“Duduk dulu, Sayang. Ada yang Mas ingin katakan,” ucapnya sambil menatapku dengan tegas.
Akhirnya aku kembali duduk seperti yang dia minta.
Dia menarik nafas dalam-dalam. “Mas, ingin menikahi Nuri, Sayang,” sebutnya.
Mendadak seperti di hantam benda berat di atas kepalaku. Jantungku meletup-letup seperti
panasnya lava gunung berapi.
“Ceraikan aku dulu, Mas. Aku tidak sudi dimadu,” ucapku tegas.
“Tidak, aku tidak mungkin menceraikanmu, aku masih mencintaimu, Elma Sayang,” goda suamiku.
“Apa?! Cinta?! Sayang?! Kalau kamu mencintaiku, tidak akan pernah ada dia di dalam hatimu,” protesku dengan nada penuh emosi.
Mataku berembun kembali, air mata ini menyeruak ke luar dari kelopak tanpa diminta. Luruh begitu saja membasahi pipi.
Kuusap kasar air mata ini dengan punggung tanganku. Aku tidak mau Mas Bian melihat aku lemah seperti ini. Aku kembali meliriknya masih dengan posisi semula yaitu menunduk.
“Sayang, maafkan aku. Aku khilaf.” Dia memohon dengan meraih kedua tanganku. Kuhempaskan tangannya seketika. Aku masih sakit, Mas!
“Minta maaf kepada Tuhanmu, karena aku belum bisa memaafkan perbuatan yang telah kamu lakukan di belakangku,” kataku dengan penuh penekanan.
Aku pergi berlalu menuju kamar, kuhempaskan daun pintu kamar hingga menimbulkan dentuman suara yang keras. Emosiku memang perlu sesekali di keluarkan supaya tidak membuat dada ini semakin sesak.
***
Aku terbangun ketika mendengar suara ponsel yang berbunyi berkali-kali milik Mas Bian. Sepertinya dia tidak mendengarnya.
Ada beberapa pesan masuk dari kontak yang tersimpan dengan gambar hati berwarna merah. Pasti ini si wanita jalang itu, ada rasa penasaran, sehingga aku ingin sekali membukanya. Beruntung ponsel Mas Bian tidak terkunci.
[Sayang, aku tidak bisa tidur di sini, aku takut sendirian.] Dengan dibubuhi emoticon menangis diakhir pesan.
Aku berusaha mengecek nomor tersebut dengan nomor Nuri yang tersimpan di ponselku, dan ternyata benar, itu nomor Nuri.
Bergegas aku menggerakkan layar ponselnya untuk membaca beberapa pesan sebelum ini.
Aku terkejut membaca pesan demi pesan seakan tidak percaya, ternyata suamiku sudah sejauh ini dengan Nuri. Mereka berkali-kali melakukan perbuatan menjijikan itu di belakangku.
“Elma, sejak kapan kamu mulai suka membuka privasi orang lain,” tegur Bian.
Sial! Mas Bian terbangun.*