𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈

Mengenal Restorative Justice Sebagai Penerapan Hukum

Oleh: Asdar Akbar

Penulis adalah Aktivis Sosial Anak Kampung Masuk Kota

RESTORATIVE Justice (RJ) diciptakan oleh seorang psikolog Albert Eglash pada tahun 1977, namun sebagai suatu konsep dan pendekatan dalam sistem peradilan, istilah itu baru mengalami intensitas pembahasan sejak dua dekade yang lalu seiring dengan berkembangnya kajian terhadap korban yang dikenal dengan ilmu viktimologi.

Restorative Justice atau keadilan restoratif merupakan sebuah upaya penyelesaian hukum dengan cara kesepakatan bersama.

Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana, dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

Tujuan utama dari Restorative Justice adalah untuk mendorong pertanggungjawaban pelaku terhadap tindakannya dan mengupayakan pemulihan korban serta pemulihan hubungan yang terganggu. Oleh karena itu, proses ini harus difokuskan pada upaya memperbaiki dampak negatif yang timbul akibat tindakan kriminal.

Tak sembarang perkara, keadilan restoratif hanya bisa diterapkan dalam perkara pidana ringan, perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak dan narkotika.

Konsep restorative justice merupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat.

Sesuai dengan Perja Nomor 15 Tahun 2020, sejumlah syarat dilaksanakannya Restorative Justice yakni bisa dilakukan jika: Tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan. Kerugian di bawah Rp 2,5 juta. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban.

Dasar hukum restorative justice dalam hukum [positif] diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kapuspenkum Kejagung : Restorative Justice, Bukan program tetapi kewenangan yang diberikan Undang-Undang oleh Kejaksaan.

Sementara Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2021, tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative Justice, Pasal 2 menyebut Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Restorative Justice dilaksanakan pada kegiatan: a. Penyelenggaraan fungsi Reserse Kriminal; b. Penyelidikan; atau c. penyidikan.

Proses Restorative Justice harus dijalankan dengan prosedur yang adil dan transparan. Setiap pihak harus memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara dan mendengar, serta memberikan pandangan mereka tentang peristiwa yang terjadi.

Selanjutnya, bahwa untuk penyelesaian tindak pidana biasa bermotif ringan dapat ditempuh dengan mediasi penal disebut pendekatan restorative justice, yaitu menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dengan memaknai tindak pidana.

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan Restorative Justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Dasar hukum Restorative Justice yaitu Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Sementara itu, untuk pelaku tindak pidana narkotika seperti pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika dapat diselesaikan melalui restorative justice dengan mendapatkan kesempatan untuk dilakukan rehabilitasi medis ataupun sosial tanpa harus menunggu putusan dari pengadilan.

Syarat Restorative Justice adalah. 1. Kasus tindak pidana pertama kali. 2. Kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta). 3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.

Jadi hakekatnya adalah bagaimana memaknai prinsip Restorative Justice yang merupakan filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan cara standar menangani kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap Negara.*

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas. "Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *