Polemik Warga Kaltim

Oleh: M Hairil
Penulis: Aktivis Pers
ISU tanah di Kalimantan Timur (Kaltim) bukanlah persoalan baru, rasa khawatir, ketakutan, dan rasa tidak aman yang menghampiri masyarakat bukan tanpa alasan. Pasalnya, proses pembebasan lahan tambang dan perkebunan para investor terkesan tidak humanis seperti yang terlihat di berbagai media massa atau media sosisal.
Akar permasalahan ini nampaknya ada dalam paradigma pembangunan kita. Ketika masyarakat menolak memberikan tanah yang di garapnya untuk konsesi pertambangan dan perkebunan dengan dalih bahwa, ini merupakan demi kesejahteraan masyarakat.
Nampaknya warga Kaltim masih dianggap urusan kecil oleh calon pengembang konsesi pertambangan dan perkebunan dan beberapa oknum aparat, sehingga dianggap telah diprovokasi dan boleh ditindak secara represif.
Seharusnya, bila ada kepentingan yang jauh lebih besar dimata pemerintah, rakyatlah tetap pemegang kekuasaan tertinggi. Sehingga pemerintah seharusnya bisa menilai, bahwa upaya penolakan yang ada di masyarakat merupakan wujud penolakan warga yang enggan bahwa tanah tempat ia menggantungkan hidupnya dijadikan tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Tindakan oknum aparat dengan dalih pengamanan juga mesti dievaluasi, agar tidak terjadi benturan di masyarakat. Karena pada dasarnya Polisi ialah sipil yang dipersenjatai, sehingga perbuatan-perbuatan buruk oknum aparat mesti disorot untuk mendapat perhatian lebih untuk perlunya pembinaan atau sanksi tegas terhadap oknum aparat yang bertindak kasar terhadap pemegang kekuasaan tertinggi yaitu rakyat.
Karena dari informasi yang penulis himpun, tanah di Kaltim adalah tanah yang subur dan tempat bergantung para petani. Seharusnya pemerintah setempat mampu mendukung masyarakatnya untuk memaksimalkan hasil pertanian warga dan mendorong kesejahteraan rakyat, bukan menghancurkan tempat di mana warga menggantungkan hidupnya.
Sengketa lahan yang ibarat api dalam sekam muncul ke permukaan. Lahan milik masyarakat yang selama ini telah digadaikan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan lain-lainnya kepada para pemodal oleh rezim berkuasa ketika itu, satu demi satu digugat oleh masyarakat.
Dalam perjuangannya, sebagian masyarakat ada yang berjaya mendapatkan lahannya kembali, namun tidak sedikit yang bernasib malang.
Sengketa lahan juga masih terus terjadi hingga kini, terutama antara masyarakat dan pihak perusahaan. Di pedesaan, sengketa lahan kerap terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Sementara di perkotaan sengketa lahan sering terjadi antara masyarakat dengan industri, pusat-pusat perdagangan dan komersial. Sengketa lahan antar sesama masyarakat, masyarakat dan aparat, masyarakat dan pemerintah juga ada, tetapi tidak sekental sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan. Hampir semua daerah di Kaltim yang memiliki perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan memiliki sengketa lahan dengan masyarakat.
Seharusnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Republik Indonesia melakukan langkah dengan merevisi atau mencabut HGU perkebunan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang di dalamnya terdapat desa, permukiman, dan garapan masyarakat. Bahkan, lebih dari itu, pemerintah wajib memastikan jalan-jalan yang menghubungkan desa dan melintasi perkebunan bukanlah milik perusahaan. Sebab, banyak desa yang tidak dapat diakses dengan bebas, karena perusahaan dapat membuka dan menutup jalan seenak perutnya yang dianggap milik perkebunan.
Jika landreform (Perombakan Terhadap Struktur Tanah) tidak dilakukan, maka ketimpangan pemilikan, penguasaan dan penggunaan lahan antara masyarakat dan pemilik modal besar (Perusahaan dan Industri) akan makin melebar.
Jika ini terus berlanjut, maka ketimpangan sosial-ekonomi pedesaan akan meningkat, produktivitas petani menurun, stabilitas keamanan terganggu, dan menghambat pembangunan pertanian. Terhambatnya pembangunan pertanian bermakna tergugatnya pembangunan nasional. Jika pembangunan nasional tergugat, maka kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan semakin menjauh dari kenyataan. Semoga petani makin maju dan bermartabat.*