𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈

Sumpah Anak yang Tersakiti

(Cerber Karya: Yenika Koesrini)

“MAS, tahu gak bedanya kamu dengan jam dua belas?”

Kening Haris berkerut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lusi. Wanita yang baru dinikahinya dua puluh bulan lalu.

“Tau gak, Mas?” tanya perempuan berusia dua puluh enam tahun itu dengan nada yang manja.

“Eum apa, ya? Gak tau tuh,” sahut pria yang usianya lebih tua empat belas tahun dari istrinya itu menggeleng.

Wanita yang tengah hamil besar itu meringis centil. “Mau tahu jawabannya gak?”

“Iya dong,” jawab Haris seraya menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Pria itu tengah menikmati nikmatnya makan malam bersama sang istri baru.

Lagi Lusi meringis centil. “Jam dua belas itu kesiangan, kalo kamu kesayangan,” tuturnya seraya mencubit pipi pria yang duduk di sampingnya.

Haris terkekeh. Istri barunya memang selalu membuatnya senang. Berbeda dengan istri lamanya yang selalu sakit-sakitan. Baginya Miranti memang selalu merepotkan.

“Ahhh kenapa aku mesti keingat dia terus?” gumam pria yang masih terlihat gagah tersebut.

“Kenapa, Mas?” tanya Lusi saat melihat suaminya bergumam sendiri.

“Ahhh enggak!”

Haris langsung menggeleng. Tentu dia tidak mau sang istri mengetahui isi pikirannya yang masih saja sulit melupakan sang mantan. Karena bagaimana pun juga Mirantilah yang menemaninya dari nol hingga sesukses sekarang.

Di sisi lain dia juga memikirkan nasib putri semata wayangnya. Hasil dari pernikahannya dengan Miranti yang bernama Abrina. Anak gadisnya yang baru berusia enam belas tahun itu memilih untuk tinggal bersama ibunya.

Remaja itu rela meninggalkan kenyamanan yang ditawarkan oleh Haris. Masih tercetak jelas betapa marahnya Abrina saat tahu Haris akan menikah lagi. Hingga tidak terasa sudah hampir satu tahun Haris tidak lagi menjumpai gadis itu.

Lima bulan yang lalu Haris sengaja menyetop uang bulanan untuk sang putri. Dia sengaja melakukan hal tersebut, agar Abrina mau datang ke rumah dan tinggal bersama lagi dengannya. Namun, harapannya tidak terwujud. Sang anak sama sekali tidak menghubunginya sampai sekarang.

“Ada apa sih, Mas, kok bengong gitu?” tegur Lusi melihat sang suami termenung.

Kembali Haris hanya bisa menggeleng.

“Pasti lagi mikirin Abrina,” tebak Lusi terlihat sebal.

Haris menarik napas dalam-dalam.

“Dia itu sudah melupakan kamu, Mas.” Lusi berkata lagi, “buktinya sudah hampir satu tahun gak pernah lagi menginjakkan kakinya di sini. Itu tandanya Abrina sudah gak peduli lagi sama kamu, Mas,” tuturnya berusaha menghasut.

“Sudah deh ngapain juga mikirin Abrina. Mending mikirin calon pewaris kamu saja nih,” titah Lusi sembari memainkan bibir.

Dia lantas meraih tangan sang suami dan menyuruhnya untuk mengelus perutnya yang sudah membuncit.

TING TONG!

“Siapa sih malam-malam bertamu?” tanya Haris begitu mendengar bell pintu berbunyi.

“Biar aku yang buka saja, Mas,” ujar Lusi dengan wajah yang semringah. Pasalnya perempuan itu tengah menunggu kedatangan seseorang.

“Gak usah biar Mas saja. Kamu perutnya kan sudah besar–”

“Gak papa, Mas, biar aku saja yang buka,” sela Lusi sembari bangkit dari duduknya.

Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu berlalu meninggalkan sang suami. Langkah pelannya tertuju pada pintu ruang tamu. Dengan rasa bahagia Lusi membuka daun pintu. Namun, seketika matanya membulat melihat siapa yang datang.

“A-Abrina?” sapanya terlihat tidak senang.

Remaja yang wajahnya memiliki kesamaan dengan Haris itu hanya menatap Lusi dengan tatapan tajam. Gadis itu tidak membalas sapaan sang ibu tiri. Dirinya memilih untuk memasuki rumah. Namun, langkahnya segera dihadang oleh Lusi.

“Mau ngapain kamu?” cegah Lusi dengan memasang wajah datar.

“Minggir! Saya gak ada urusan dengan kamu!” titah remaja berambut panjang itu dengan tatapan muak.

“Abrina, inget gak kalo sekarang saya ini adalah nyonya di rumah ini,” balas Lusi dengan seringai mengejek.

“Saya gak peduli! Saya cuma ingin ketemu dengan Papah,” timpal Abrina tidak kalah tegas.

“Tiba-tiba pengen ketemu, bukannya dulu sok-sokan ninggalin Papah kamu–”

“Kamu bisa diam

“Ahhh gak sih!” potong Abrina kesal.

“Abrina?”

Lusi yang akan menimpali omongan anak sambungnya itu seketika menoleh begitu mendengar suara sang suami.

“Kamu apa kabarnya, Bi?” tanya Haris dengan rasa rindunya. Namun, ketika tangannya hendak meraih tubuh sang putri untuk didekap, Lusi justru menarik lengannya untuk dipeluk.

“Aku ada perlu sama Papah,” tutur Abrina datar.

“Apa, Nak?” tanya Haris menunjukan wajah antusiasnya.

“Aku mau cerita, tapi gak mau ada dia.” Telunjuk Abrina mengarah kepada wajahnya Lusi.

“Hei … saya ini istri Papah kamu sudah mau satu tahun. Jadi suka-suka saya dong kalo dekat-dekat dengan Mas Haris,” tukas Lusi kian mengeratkan dekapan pada lengan Haris.

“Ya sudah katakan apa yang ingin kamu sampaikan,” pinta Haris dengan lembut pada sang putri.

Abrina terlihat menarik napas panjang. “Mamah terkena demam berdarah, Pah. Sudah dua hari Mamah dirawat di rumah sakit.”

“Terus apa hubungannya dengan suami saya?” sela Lusi cepat, “ingat ya suami saya dengan mamah kamu sudah gak ada lagi hubungan,” tegasnya sambil melirik tajam pada Haris.

“Pah.” Abrina yang kesal kembali menunjuk Lusi sambil berdecak.

“Tante Lusi benar, Papah dan Mamah kamu sudah tidak ada lagi hubungan.”

Bibir Lusi sontak meringis puas mendengar pernyataan sang suami. Sementara Abrina dibuat tercengang karenanya.

“Tapi Papah pernah sangat mencintai Mamah. Kalian sudah hidup bersama lebih dari tujuh belas tahun, Pah.”

“Gak usah ngomongin masa lalu.” Lusi langsung menimpali omongan Abrina, “kenyataannya sekarang sayalah wanita yang dicintai Papah kamu.”

“Pah, aku butuh biaya buat bayar rumah sakitnya Mamah,” tutur Abrina sejujurnya.

“Papah kamu sudah gak ada kewajiban buat biayain Mamah kamu, Abrina.”

“Diam! Saya gak bicara dengan kamu.” Kesal membuat Abrina berani menyentak Lusi.

“Tante Lusi benar, Bina.” Lagi-lagi Haris membela sang istri, “atau gini saja, papah mau bayarin biaya rumah sakit mamahmu asal kamu tinggal bersama kami, bagaimana? Setuju kan?” tawarnya dengan meyakinkan.

Di tempatnya Abrina kembali tercenung mendengarnya. Setelah terdiam hampir beberapa menit, gadis itu menganggukkan kepalanya.

“Baik, aku mau tinggal dengan Papah asal Papah mau menceraikan dia!” Abrina mengajukan syarat sambil mengacungkan telunjuknya pada wajah Lusi.

“Enak saja kamu ngomong!” sergah Lusi marah, “saya ini sedang mengandung pangeran mahkotanya papah kamu. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Mamah kamu,” cerocosnya dengan bangga.

“Diam kamu!” gertak Abrina keras.

“Maaf Abrina, tapi Papah gak bisa menceraikan Tante Lusi,” tegas Haris serius.

“Nah kamu dengar sendiri kan?” timpal Lusi merasa di atas angin karena dibela, “sekarang mending kamu pulang sana sebelum hujan datang,” usirnya begitu melihat awan yang menghitam.

“Pah, aku mohon untuk sekali ini bantulah Mamah.” Kali ini suara Abrina mulai memelas.

“Mamah kamu yang milih jalannya untuk ke luar dari sini, jadi terima saja resikonya,” sahut Lusi dengan sinisnya.

“Tentu saja Mamah aku ke luar dari sini, karena dia gak sudi dimadu dengan perempuan culas seperti kamu,” serang Abrina kembali kesal.

“Ya udah terima saja resikonya,” balas Lusi kembali mengulangi omongan.

Abrina mengalihkan tatapannya kembali ke sang ayah. “Pah, tolong buka hati nuranimu. Mamah ini pernah jadi separuh napasmu, Pah,” mohonnya dengan menangkupkan kedua tangan.

“Maaf Abrina, Papah gak bisa,” putus Haris dengan berat hati. Sejujurnya dia juga merasa iba. Namun, pria itu tidak mau membuat istri barunya marah.

“Pah, tolong jangan sekejam itu sama aku dan Mamah.” Mata bulat Abrina mulai berkaca-kaca.

“Papah gak kejam. Papah cuma mau memberikan penawaran,” bantah Haris tenang, “kamu tinggal di sini, kembali menikmati semua kemewahan dan papah akan biayain mamah kamu.”

“Gak! Aku gak mau,” tolak Abrina bulat.

“Ya sudah silakan kamu tinggalkan rumah ini sekarang juga,” pinta Lusi.

Air mata yang sedari tadi Abrina bendung akhirnya jebol juga begitu mendengar pengusiran sang ayah. Gadis itu mengangguk dengan menahan sesak.

“Baik aku pergi,” putus Abrina denga

an Papah asal Papah mau menceraikan dia!” Abrina mengajukan syarat sambil mengacungkan telunjuknya pada wajah Lusi.

“Enak saja kamu ngomong!” sergah Lusi marah, “saya ini sedang mengandung pangeran mahkotanya papah kamu. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Mamah kamu,” cerocosnya dengan bangga.

“Diam kamu!” gertak Abrina keras.

“Maaf Abrina, tapi Papah gak bisa menceraikan Tante Lusi,” tegas Haris serius.

“Nah kamu dengar sendiri kan?” timpal Lusi merasa di atas angin karena dibela, “sekarang mending kamu pulang sana sebelum hujan datang,” usirnya begitu melihat awan yang menghitam.

“Pah, aku mohon untuk sekali ini bantulah Mamah.” Kali ini suara Abrina mulai memelas.

“Mamah kamu yang milih jalannya untuk ke luar dari sini, jadi terima saja resikonya,” sahut Lusi dengan sinisnya.

“Tentu saja Mamah aku ke luar dari sini, karena dia gak sudi dimadu dengan perempuan culas seperti kamu,” serang Abrina kembali kesal.

“Ya udah terima saja resikonya,” balas Lusi kembali mengulangi omongan.

Abrina mengalihkan tatapannya kembali ke sang ayah. “Pah, tolong buka hati nuranimu. Mamah ini pernah jadi separuh napasmu, Pah,” mohonnya dengan menangkupkan kedua tangan.

“Maaf Abrina, Papah gak bisa,” putus Haris dengan berat hati. Sejujurnya dia juga merasa iba. Namun, pria itu tidak mau membuat istri barunya marah.

“Pah, tolong jangan sekejam itu sama aku dan Mamah.” Mata bulat Abrina mulai berkaca-kaca.

“Papah gak kejam. Papah cuma mau memberikan penawaran,” bantah Haris tenang, “kamu tinggal di sini, kembali menikmati semua kemewahan dan papah akan biayain mamah kamu.”

“Gak! Aku gak mau,” tolak Abrina bulat.

“Ya sudah silakan kamu tinggalkan rumah ini sekarang juga,” pinta Lusi.

Air mata yang sedari tadi Abrina bendung akhirnya jebol juga begitu mendengar pengusiran sang ayah. Gadis itu mengangguk dengan menahan sesak.

“Baik aku pergi,” putus Abrina dengan suara yang bergetar menahan sakit di dada,” dan aku pastikan ini terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di rumah ini.

“Ya semoga aja gak lupa dengan janjinya. Tau-tau nanti datang lagi ke sini,” sahut Lusi sambil menyindir sinis.

Abrina terdiam sejenak untuk menata hati sembari mengelap matanya yang basah.

“Aku berjanji bahwa apapun yang akan terjadi dengan papah, aku gak pernah sudi untuk datang menjenguk,” janji Abrina.

“Eh kamu nyumpahin papah kamu kenapa-napa, hah?” omel Lusi geram.

Abrina menatap Lusi dengan dingin. “Perlu kamu ketahui, hukum tabur tuai itu berlaku di muka bumi ini. Kamu pernah membuat Mamah aku terusir dari rumah ini, dan aku bisa pastikan suatu saat kamu juga akan terusir dari rumah ini dengan cara yang hina!”

Tepat saat Abrina bersumpah, petir di langit menggelegar. Lusi sendiri sempat terperanjat mendengarnya. Namun, ketakutannya dia tutupi dengan seringai sinis.

Sebelum pergi, Abrina kembali menatap ayahnya. Namun, Haris justru membuang muka. Pria itu tidak berani membalas pandangan tajam sang putri, buah hati dari istri pertamanya, Miranti.

Dan Abrina pun beranjak. Gadis itu membelah pekatnya malam. Menit berikutnya hujan pun mengiringi langkahnya. “Ke mana aku mencari pertolongan?,” guman gadis itu resah.*
Cerita Bersambung (Cerber)
Editor: Loh

𝐑𝐔𝐒𝐌𝐈𝐍

𝐊𝐞𝐭𝐮𝐚 𝐈𝐈 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐬𝐚𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐫𝐬 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐃𝐏𝐏- 𝐒𝐄𝐏𝐄𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐝𝐢𝐧𝐚𝐭𝐨𝐫 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐊𝐎𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐂𝐞𝐭𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐎𝐧𝐥𝐢𝐧𝐞, 𝑱𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒔.𝒊𝒅- 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐔𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏 𝐅𝐀𝐊𝐓𝐀 𝐓𝐀𝐍𝐏𝐀 𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒 , 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐈𝐧𝐯𝐞𝐬𝐭𝐢𝐠𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐧𝐢𝐭𝐨𝐫𝐢𝐧𝐠 Telepon: 082332930636 / 082312911818.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *