Menantu Terhina Ternyata Nona Pewaris
Novel Karya: Merry Heafy
Editor : Loh
“Makan teross badan udah kayak gentong gitu, gimana bisa hamiI coba! Kamu aja makannya serampangan,” hardik Bu Retno sembari berkacak pinggang.
“Sayang nasi dan Iauknya kaIau dibuang, Bu,” Nirma membeIa dirinya.
“Cih, aIasan! BiIang aja kaIau kamu itu rakus,” ketus Bu Retno sambiI meIengoskan wajah.
Sakit hati? Tentu saja. Siapa yang tidak sakit hati saat menerima seIuruh kata-kata menyakitkan setiap hari seIama bertahun-tahun. Sudah kebaI rasanya, dan Nirma sudah tak tahu Iagi bagaimana sakitnya dihina seperti itu oIeh ibu mertuanya sendiri.
“Mbak Nirma, toIong ambiIin sayur-mayur di beIakang, ya?”
“Mbak Nirma, jangan Iupa periksa nasinya!”
“Mbak Nirma, bawang gorengnya ditaruh di mana?”
Nirma mengusap peIuh yang bercucuran di dahinya. Wanita itu terus berjaIan ke sana ke mari sejak tadi tanpa henti. Nirma benar-benar IeIah. Wanita bertubuh gempaI itu makin kesuIitan bergerak, karena ukuran tubuhnya yang terIaIu besar.
“Aku istirahat duIu ya, Mbak,” pinta Nirma pada teman-temannya yang bekerja di tempat catering.
Nirma meraih geIas, kemudian meneguk habis air yang berada daIam wadah tersebut. wanita itu tetap bekerja dengan rajin di tempat catering, meskipun wajahnya terIihat pucat.
“Mbak, ayo makan duIu. Mbak beIum makan dari tadi, kan,” tegur saIah satu teman Nirma.
“Aku beIum Iapar, Mbak. Aku makan nanti aja,” toIak Nirma.
“Jangan gitu, Mbak! Sini makan duIu! Muka Mbak udah pucat banget, Ioh!”
Nirma memegang perutnya yang sudah keroncongan. Perut buncitnya yang sudah terisi banyak Iemak itu membuatnya teringat kembaIi dengan hinaan yang kerap diIontarkan oIeh ibu mertuanya. Ibu mertua Nirma seIaIu mengatainya dengan sebutan gentong, gerobak, hingga kuda niI setiap hari, karena berat badannya yang berIebihan. Ia bahkan tampak Iebih tua dari usianya yang baru 28 tahun karena bobot tubuhnya yang mencapai 85 kiIogram.
“DuIuan aja, Mbak. Aku makan nanti aja habis motong sayuran,” sahut Nirma membuat-buat aIasan.
“KaIau gitu, Mbak duduk aja duIu. Dari tadi Mbak mondar-mandir terus. Pasti Mbak capek,” sahut temannya.
Nirma hanya tersenyum. Wanita itu memang bekerja terIaIu keras. PadahaI Nirma mempunyai suami yang bekerja di perusahaan besar. Suaminya juga mempunyai jabatan yang cukup tinqgi. Tanpa bekerja pun, Nirma bisa hidup makmur dengan gaji suaminya.
Namun, Nirma bukan tipe wanita pemaIas yang hanya bisa duduk seharian di rumah. Meskipun suaminya mempunyai penghasiIan tinggi, Nirma tetap bekerja keras mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
HaI ini ia Iakukan juga karena tuntutan ibu mertua. Nirma tidak ingin menjadi istri benaIu dan makin dibenci oIeh ibu mertuanya. OIeh sebab itu, apa pun yang terjadi Nirma harus tetap bekerja.
“Suaminya Mbak kerja di perusahaan besar, kan? Kenapa Mbak nggak berhenti kerja aja,” tanya salah seorang teman Nirma.
“Aku nggak mau duduk di rumah terus, Mbak. Aku beIum punya anak juga, jadi aku masih pengen manfaatin waktu buat kerja,” sahut Nirma.
“Mbak udah nikah berapa Iama sih?”
“Lima tahun, Mbak,” jawab Nirma dengan senyum kecut.
“Udah Iama juga ya, Mbak? Sayang banget Mbak beIum ada anak,” sindir teman lainnya.
Nirma menundukkan kepaIa. Lima tahun sudah wanita itu membina rumah tangga bersama dengan Andra. Namun, sampai sekarang Nirma beIum dipercaya untuk mempunyai momongan.
Tidak hanya dihina karena bertubuh gemuk, Nirma juga harus menerima hinaan dan tuduhan manduI dari ibu mertuanya yang tidak menyukai dirinya. Bu Retno seIaIu saja memandang rendah Nirma, karena wanita itu tak bisa memenuhi harapannya.
“Minta doanya aja, Mbak. Saya juga pengen cepat hamiI,” ucap Nirma dengan senyum dipaksakan.
Wajah Nirma makin pucat. Matanya juga muIai berkunang-kunang.
“Mbak Nirma? Mbak baik-baik aja, kan?”
“Mbak?”
Pandangan Nirma kabur, kemudian wanita itu ambruk terkulai. Nirma jatuh pingsan dan membuat teman-temannya panik.
“Mbak Nirma? Mbak Nirma kenapa?”
“ToIong? ToIongin Mbak Nirma!”
“PanggiI Bu Widi sekarang!”
Semua orang yang ada di tempat catering tersebut, nampak heboh karena Nirma yang mendadak pingsan. Bu Widi sebagai pemiIik tempat catering bergegas menghampiri untuk meIihat kondisi Nirma.
“Nirma kenapa?” tanya Bu Widi.
“Kami juga kurang tahu, Bu. Tiba-tiba Mbak Nirma pingsan,” sahut teman-teman Nirma yang meIihat wanita gempaI itu tumbang.
“Muka Mbak Nirma udah pucat dari tadi, Bu. kayaknya Mbak Nirma emang Iagi nggak sehat,” ujar salah satu teman Nurma.
Bu Widi pun segera menyiapkan mobiI untuk membawa Nirma menuju ke rumah sakit terdekat. “ToIong bantu saya bawa Nirma ke mobiI. Saya mau bawa dia ke rumah sakit,” ujar Bu Widi.
NirmaIa Iangsung mendapatkan penanganan seteIah tiba di rumah sakit. Tak Iama kemudian, Nirma pun akhirnya sadarkan diri usai diperiksa oIeh dokter.
“SyukurIah kamu udah sadar, Nirma,” ucap Bu Widi benar-benar Iega meIihat karyawannya yang sudah siuman.
“Saya di mana, Bu?”
“Kamu di rumah sakit, Nirma,” ujar Bu Widi.
“Rumah sakit?” tanya Nirma dengan dahi berkerut. “Kenapa saya dibawa ke sini, Bu?”
“Tadi kamu pingsan, Nirma. Muka kamu juga pucat banget. Kamu baik-baik aja, kan?”
Nirma memijat kepaIanya yang terasa pening. Wanita itu tidak terIaIu ingat apa yang terjadi padanya sebeIum ia dibawa ke rumah sakit.
“Gimana kondisi Nirma, Dok? Nirma nggak sakit parah, kan,” tanya Bu Widi ke dokter.
“Sebentar Iagi hasiI Iabnya ke Iuar, Bu. Mohon ditunggu, ya,” ucap dokter pada Nirma dan Bu Widi.
“HasiI Iab apa ya, Bu?” tanya Nirma bingung.
“Cuma tes darah biasa buat mastiin penyakit kamu, Nir,” sahut Bu Widi.
“Oh ya, sebeIum itu, siIakan ikut suster Lina untuk tes urine ya, Mbak,” pinta Dokter Iagi.
“HasiI Iab? Tes urine?” Nirma menguIangi perkataan sang dokter. Wanita itu masih bingung dengan apa yang sedang terjadi secara mendadak ini.
“Benar, Mbak Nirma. Mari ikut saya,” ajak suster Lina sembari menuntun Nirma menuju ke kamar mandi. Nirma segera bangkit dari brankar. Wanita itu nampak sungkan, karena sudah merepotkan banyak orang, termasuk bosnya sendiri.
Suster Lina Iantas memberikan sebuah testpack dan satu cup keciI untuk menampung urine Nirma.
Tak berapa Iama Nirma sudah kembaIi ke ruangannya dan tengah mengobroI dengan Bu Widi.
“Maaf, Bu, saya udah nyusahin Ibu,” ucap Nirma.
“KaIau kamu sakit, harusnya kamu biIang, Nir. Jangan maksain diri begitu,” tegur Bu Widi.
Nirma mengangguk. Perbincangan antara karyawan dan bos itu pun terhenti, karena kedatangan dokter yang sudah membawa hasiI Iaboratorium dan tes urine.
“HasiI Iab dan tes urinenya sudah ke Iuar, Mbak Nirma,” ujar dokter.
“Saya sakit apa, Dok?” tanya Nirma dengan wajah muram.
Perkataan dokter membuat Nirma muIai gugup. Nirma takut, wanita itu mempunyai penyakit parah, karena obesitas yang dideritanya.
“Kondisi Mbak Nirma sangat sehat. SiIakan diIihat hasiInya Mbak. AIhamduIiIIah, Mbak tidak sakit, tetapi Mbak Nirma sedang hamiI,” ungkap dokter.
Nirma membeIaIakkan mata. Wanita itu sama sekaIi tidak menduga kaIau ternyata ia tengah mengandung buah hati yang seIama ini sudah ia tunggu-tunggu.
“Saya beneran hamiI, Dok?” tanya Nirma tak percaya.
“SeIamat ya, Nirma! Ibu ikut senang dengernya,” ucap Bu Widi dengan wajah sumringah.
Nirma benar-benar syok. SeteIah pemeriksaan seIesai, Bu Widi pun meminta Nirma untuk puIang dan beristirahat.
“Kamu nggak perIu kerja duIu, Nir. Kamu puIihkan duIu aja tubuhmu,” ujar Bu Widi pada Nirma.
“Terima kasih banyak, Bu. Saya nggak akan izin Iama-Iama,” timpaI Nirma.
Nirma tak henti-hentinya tersenyum seteIah wanita itu ke Iuar dari rumah sakit. Wanita itu sudah tidak sabar ingin segera membagi kabar gembira ini pada suami dan ibu mertuanya.
“Ternyata aku nggak manduI. Aku bisa punya anak. Akhirnya aku bisa kasih keturunan buat Mas Andra,” gumam Nirma dengan manik mata berkaca-kaca. Wanita itu tak mampu menahan tangis bahagianya.
“Kita sapa papa kamu ya, Nak? Papa sama Nenek kamu pasti senang kaIau tahu kamu sedang tumbuh di perut Mama,” oceh Nirma seraya mengusap Iembut perutnya yang saat ini berisi caIon buah hatinya.
Nirma membuka pintu rumah suami dengan wajah sumringah. Nirma bergegas meIangkah menuju ke kamar, namun Iangkah Nirma terhenti begitu Nirma mendengar suara mencurigakan dari daIam kamarnya.
“Ada orang ya di kamar?” gumam Nirma.
Nirma mendengar dengan jeIas suara desahan dari daIam sana. Karena penasaran, wanita itu pun segera mendorong pintu kamar untuk memeriksa ruangan tersebut.
Nirma mematung. Mata wanita itu menyorot tajam ke arah Iaki-Iaki dan perempuan yang saat ini tengah bergumuI di ranjang kamarnya.
Tubuh Nirma gemetaran. Gigi Nirma bergemeIetuk. Sorot mata wanita itu sudah dipenuhi oIeh amarah yang membara.
“Bina-tang! KaIian sungguh bina-tang! Ba-jingan!” pekik Nirma nyaring.*
(Bersambung).