𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Kubalas Perselingkuhanmu

(Cerber Karya: Ananda Zhia)

MALAM itu, sebelum bertolak ke Malang, sengaja kupinta Wina untuk menyelidiki siapa wanita itu. Tak lupa aku kirimkan arsip chat ke emailku dan kusadap semua obrolan di aplikasi hijau milik suamiku. Tak ada yang bisa bermain-main dengan Resti!

“Kamu bener-bener deh, Res! Bikin malu banget,” omel Wina yang kini kupinta menjalankan mobilku ke restoran untuk mengantarnya mengambil mobil.

“Kalau enggak gitu, dia enggak akan jera, Win,” jawabku dengam mata menerawang dan pikiran di awang-awang.

Jangan dikira aku tenang setelah apa yang aku lakukan. Aku harus menyiapkan strategi untuk menghadapi Yovan. Meski kutahu suamiku takkan gegabah tetapi aku harus waspada. Yovan itu pria cerdas, dia pandai memainkan peran sebagai suami setia lagi penuh perhatian.

Sebuah penanda pesan masuk menyala di aplikasi penyadap pesan obrolanku. Akun aplikasi hijau milik Yovan pasti sedang mendapat satu pesan baru.

Mas Yovan, istrimu baru saja datang ke kampus dan mempermalukan aku. Satu kampus heboh menghujat aku, Mas. Nanti kalau aku dikeluarkan dari kampus gimana?

Nah terbukti kan, perempuan seperti Claris itu tidak akan jera. Justru sikapku yang bar-bar akan dibalas dengan niat semakin kuat untuk menarik simpati suamiku. Selalu tampak menderita dan teraniaya. Begitulan semua selingkuhan selalu bermain peran.

Hah? Serius kamu? Kok bisa? Memangnya Resti ke Malang?

Kulihat Yovan seperti tak percaya. Aku memang bukan wanita bar-bar yang bisa melakukan hal norak seperti yang Claris ceritakan. Imageku di mata Yovan dan kolegaku memang cantik dan elegan. Tenang, anteng dan tidak suka keributan.

Kamu gimana loh? Menyembunyikan pesanku dari istrimu aja kamu enggak sanggup! Aku enggak mau lagi begini, Mas. Kamu kan janji mau menjaga dan melindungi aku.

Kamu tenang dulu, aku urus semuanya. Resti bukan wanita yang bar-bar seperti itu kok. Asal kita melas-melas di depannya juga nanti dia nanti iba.

Wah, ngajak ribut nih Yovan. Mentang-mentang aku selama ini sabar dan tenang, dia pikir aku enggak bisa berubah jadi orang jahat untuk melindungi keluargaku.

Well mari kita sebut, ini adalah sisi lain diriku yang terbangkitkan, karena luka dan air mata. Aku juga bisa ngamuk kalau gembel yang kupungut bisa berubah tak tahu diri begini.

Aku segera mengirim pesan pada Tante Mirna, adik Papaku yang rumahnya di daerah Sidoarjo. Aku ingin menggunakannya sebagai alibi.

Tante, minta tolong nanti kalau Yovan telepon bilang kalau aku ada di rumah tante ya. Jangan banyak tanya dulu, ikuti sekenario yang Resti bikin ya tante.

Kukirim pesan itu disertai rentetan pesan panjang, apa saja yang harus Tante Mirna lakukan saat Yovan menghubunginya. Semua sudah kupikirkan sesaat sebelum aku berangkat ke Malang pagi ini.

Ada apa? Kalau gembel itu berani macam-macam, tendang saja.

Balasan tante Mirna begitu menohok. Ya, adik Papaku itu memang termasuk yang ikut menentang perikahanku dengan Yovan dulu. Tetapi keluargaku bukan keluarga kolot pemaksa. Mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya padaku dan mendukung apapun jalan hidup yang kutempuh.

Nanti setelah sampai di rumah Tante akan aku ceritakan. Untuk sementara ikuti permainanku dulu ya, Tant.

Tante Mirna tak menjawab panjang lebar. Hanya sebuah emoticon senyum dikirim padaku.

“Win, aku enggak turun lagi ya. Aku buru-buru balik Surabaya. Yovan pasti akan bertindak sebentar lagi,” ucapku begitu sampai di depan resto tempat Wina memarkir mobilnya.

“Iya deh, Res. Hati-hati nyetirnya ya. Kamu yakin baik-baik saja,” tanya Wina khawatir. Selama duduk di bangku sebelah kemudi dan disopiri Wina aku memang lebih banyak diam dan memainkan telepon pintar milikku.

“Aku lebih tangguh dari yang kamu kira, Win,” candaku sambil nyengir kuda yang dipaksakan. Bohong, iyalah! Siapa wanita yang tak hancur dikhianati suaminya?

“Kamu selalu punya pundak untuk bersandar dan menangis, Res. Hubungi aku kapanpun kamu perlu dukungan,” ujar Wina. Seperti biasa, sahabatku itu sangat perhatian padaku.

Aku mengangguk dan kami berganti posisi. Wina turun dan aku berpindah duduk ke bangku sopir tanpa turun dari mobil. Setelah berpamitan, aku melajukan mobilku agak kencang. Aku harus segera meluncur ke Sidoarjo secepatnya.

Kutelepon orang kepercayaanku di kantor. Dia seorang akuntan yang kami bayar untuk mengaudit keuangan perusahaan. Aku yakin dia pasti tahu borok perusahaan suamiku.

“Halo, Ferdi! Saya mau kamu kirimkan laporan keuangan perusahaan enam bulan terakhir. Laporkan juga kendala yang sedang kita hadapi. Sertakan juga secara terperinci gaji karyawan kita di kantor, juga siapa saja klien kita. Kirim semua ke email saya,” ujarku panjang lebar.

“Bu Resti! Maaf, Bu. Ada apa ya? Kok tiba-tiba ibu minta laporan lengkap begini,” tanya Ferdy bingung.

“Laporkan saja dan pastikan hanya kamu dan saya yang tahu persoalan ini. Besok jam makan siang temui saya di cafe depan kantor untuk menjelaskan bagaimana gambaran riil kondisi keuangan kita,” lanjutku.

Kudengar dari nada bicaranya akuntanku itu memang seperti kebingungan dan kalang kabut. Sangat mencurigakan!

“Ba…baik, Bu Resti. Sa…saya siapkan semuanya,” jawabnya terbata.

“Tolong, jangan ada yang ditutup-tutupi di hadapan saya ya, Fer,” tegasku sekali lagi sebelum mengakhiri panggilan.

Kulajukan mobilku dengan kecepatan agak tinggi. Aku harus segera tiba di rumah Tante Mirna. Aku menyetir dalam kondisi tak sempurna, hatiku kacau dan mataku buram, karena air mata yang terus menerus mengalir.

“Papa, maafkan Resti yang enggak nurut nasihat Papa dulu,” isakku tanpa bisa kutahan lagi.

Mobil terus melaju dengan kondisi mengemudi yang sedikit ugal-ugalan. Entah pada kilometer ke-berapa di jalan tol ini, aku tidak bisa menguasai mobilku dan hampir saja aku menabrak pembatas jalan. Aku mengerem mendadak dan mobilku berdecit hingga berputar 180 derajat, membuat beberapa mobil-mobil di belakangku ikut mengerem dan membunyikan klakson.

Aku oleng! Hatiku sangat kacau mendapati fakta bahwa suamiku dengan selingkuhannya sudah begitu dekat dan nekat.

Aku mengemudi mobilku untuk menepi sejenak di bahu jalan. Beberapa pengemudi yang melihat kejadian kecelakaan tunggalku membuka kaca dan meneriaki, agar aku lebih hati-hati.

Kuabaikan mereka dan aku menangis sejadinya di mobil. Aku lepaskan semua beban yang menyesakkan dadaku, membuatku sulit bernapas dihimpit rasa kesal dan emosi yang membuncah. Aku ini memang hanya wanita biasa. Meski tingkahku garang mendatangi selingkuhan suamiku, tapi tak ayal rasa duka dan nelangsa menyeruak dan menghajar mentalku membabi-buta.

Wanita mana yang bisa baik-baik saja saat rumah tangganya diguncang isu perselingkuhan?

Kulihat lagi penanda penyadap pesan dari telepon pintar Yovan menunjukkan sebuah pesan masuk.

Mas, aku takut! Ibu kos mengusirku dari kos-kosan. Aku harus ke mana?

“Kamu nginep di hotel aja dulu sementara. Selanjutnya kamu cari apartemen atau homestay yang disewakan. Pakai uangmu dulu nanti Mas ganti,” pinta Yovan

“Arghhhhhhhhh!!!!!”

Aku menjerit histeris melihat bagaimana segitunya Yovan melindungi selingkuhannya itu. Mempermalukan wanita itu di depan umum rupanya tak membuatnya jera. Claris, jelas-jelas bukan gadis lugu yang baru mengenal hubungan terlarang dengan suami orang.*
Cerita Bersambung (Cerber)
Editor: Loh

𝐑𝐔𝐒𝐌𝐈𝐍

𝐊𝐞𝐭𝐮𝐚 𝐈𝐈 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐬𝐚𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐫𝐬 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐃𝐏𝐏- 𝐒𝐄𝐏𝐄𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐝𝐢𝐧𝐚𝐭𝐨𝐫 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐊𝐎𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐂𝐞𝐭𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐎𝐧𝐥𝐢𝐧𝐞, 𝑱𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒔.𝒊𝒅- 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐔𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏 𝐅𝐀𝐊𝐓𝐀 𝐓𝐀𝐍𝐏𝐀 𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒 , 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐈𝐧𝐯𝐞𝐬𝐭𝐢𝐠𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐧𝐢𝐭𝐨𝐫𝐢𝐧𝐠 Telepon: 082332930636 / 082312911818.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *