𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Berbagi Suami

(NovelKarya:IndriLestari)

SILAKAN! Jika memang ingin menikah lagi, itu adalah hak dia sepenuhnya. Kularang pun tak bisa. Toh, dia memang tidak mencintaiku. Di dalam hatinya hanya ada satu nama yang tidak akan pernah terganti.

Meskipun Hadi telah menikahiku, bukan berarti aku bisa menggeser posisi Tiara di hatinya. Wanita yang telah lama menjadi tambatan rindu suamiku. Di saat mereka sedang merangkai impian untuk hidup bersama, aku datang sebagai perebut calon suami orang.

Aku dan Hadi terpaksa menikah karena dijodohkan. Orang tuaku dan orang tua Hadi telah lama bersahabat. Tanpa diketahui mereka telah menjodohkan kami jauh hari saat aku dan Hadi masih remaja. Setelah kami menyelesaikan pendidikan dan Hadi telah mapan, akhirnya pembahasan itu pun dibuka. Acara lamaran dan pernikahan akan segera dilangsungkan.

Bukan aku tidak menolak, apalagi membayangkan Azzam yang sedang berada di Turki. Kami telah berjanji untuk saling setia menanti, apa pun yang terjadi tidak boleh seorang pun mendua hati. Di lain sisi, Umi harus beberapa kali bertemu dengan jarum infus di rumah sakit. Tekanan darahnya menjadi tinggi, karena penolakan yang berulang kali kugencarkan.

Melihat kondisinya terbaring tak berdaya, aku pun mencoba untuk menepiskan ego yang meraja. Berusaha untuk legowo, menerima pilihan orang tua. Menikah dengan calon yang mereka berikan. Lelaki yang sama sekali belum pernah kutemui, karena menurut cerita Umi, dia menghabiskan masa lajang di luar negeri. Jangankan bertegur sapa, namanya saja baru kuketahui beberapa hari sebelum kami menikah.

“Aku mau menikah dengan Tiara,” Hadi berujar acuh sambil melihat ke arahku.

“Kalau menurutmu itu yang terbaik, silakan. Aku tidak berhak untuk melarang,” jawab singkat. Kujawab sambil menahan gemuruh di dada. Dia tidak memerlukan persetujuanku sebenarnya. Karena lelaki itu bisa melakukan apa saja, tanpa harus memberitahuku terlebih dahulu.

“Bagus kalau kamu sadar diri. Aku memang tidak meminta persetujuanmu. Aku tidak peduli. Hanya aku minta, agar kamu merahasiakan semua ini. Dari orang tuaku tentunya, terutama ibu,” pintanya.

Hadi sangat menyayangi kedua orang tuanya, aku tahu itu. Dia tidak pernah membantah sepatah kata pun dari ayah dan ibunya. Di depan mereka, Hadi adalah anak yang patuh lagi baik, akan tetapi di belakang, lelaki itu bagaikan iblis tak berhati nurani.

Sekian bulan pernikahan kami, sama sekali dia tidak menganggap aku ada. Kami bagaikan orang asing di dalam satu atap. Dia melarangku untuk melaksanakan tugas sebagai seorang istri. Apalagi untuk bercinta, sekali pun dia belum pernah menyentuhku layaknya pasangan normal di luaran sana.

Sama seperti Umi, ibu mertuku pun tidak bisa mendengar kabar yang tidak baik. Sakit jantungnya akan kumat seketika. Hadi sangat menjaga itu. Ia tidak pernah membuat sang ibu bersedih. Setiap kami berkunjung ke rumah orang tua Hadi, maka kami akan berlagak seperti pasangan suami istri yang saling menyayangi. Dia akan bersikap sangat romantis padaku, begitu pun aku diminta untuk berperan sebagi istri yang baik di depan orang tuanya. Hingga sejauh ini tidak ada yang pernah menaruh curiga dengan pernikahan kami. Pernikahan yang sebenarnya sakit.

“Kupikir ada yang tidak peduli lagi dengan ayah dan ibu. Kulihat kau bisa berbuat sesuka hati,” gledekku.

“Jaga mulutmu! Kamu tidak berhak menilai apa-apa tentang aku,” sanggahnya.

“Terserah!”

Aku beralih ke arah kamar. Menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. Begitulah, selama tujuh bulan pernikahan, aku dan Hadi sudah tidur pisah kamar. Aku dibawa Hadi beberapa hari setelah menikah. Lelaki itu termasuk salah satu pengusaha sukses di usia yang masih tergolong muda. Tidak sulit baginya untuk mendapatkan sebuah rumah besar untuk kami tinggali setelah menikah. Namun, tujuan utama ia membawaku bersama adalah karena memang tidak ingin menganggapku ada.

Sejak awal acara pertunangan pun ia telah mengatakan semuanya. Saat itu kami sengaja diminta untuk duduk berdua untuk saling mengenal lebih jauh. Dia berbicara apa adanya. Demikian juga aku, memberitahukan jika ada sebongk

ah hati yang tersakiti, karena menerima perjodohan kami.

Berbeda dengan Hadi, meskipun awalnya aku menolak, akan tetapi aku berusaha untuk lapang dada. Aku menganggap jodoh dari orang tua adalah yang terbaik untukku. Ternyata aku salah. Pernikahan kami malah membuat hari-hariku menjadi suram. Rumah tangga kami bagaikan rumput di padang tandus tak tersiram hujan.

Kulirik jam dinding, jarum pendeknya berada di angka sepuluh. Jika Hadi di rumah, aku selalu mengunci diri di kamar. Bertemu dengannya adalah hal yang sangat kuhindari. Terkadang aku sering merindukan Azzam. Lelaki yang pernah saya cintai, Dia bertutur lembut dan selalu menjaga diri saat kami bersama, sehingga meyakinkanku jika dia adalah pilihan terbaik yang pantas kunanti.

Entah bagaimana kabarnya sekarang, aku tidak pernah menghubungi dia lagi setelah sah menjadi istri Hadi. Aku masih tahu tentang dosa, tak baik seorang perempuan bersuami berhubungan dengan lelaki lain walau hanya sekadar bertegur sapa.
Sengaja aku menghilang, karena tak ingin menyakiti hati Azzam dan mengganggu pendidikan master-nya. Walaupun rasa sakit itu telah kutorehkan saat kabar pernikahan kusampaikan padanya dulu.

Sibuk dengan pikiran yang melalangbuana, perutku bernyanyi berulang kali. Aku memang sudah lapar sejak tadi. Namun, seperti biasa, aku akan menahannya hingga jadwal Hadi makan terlewati. Lelaki itu terbiasa duduk di meja makan pukul delapan malam. Ia akan menghabiskan waktu setengah jam bahkan lebih hanya untuk menikmati makan malamnya. Sementara aku ogah untuk duduk semeja. Jika pun lapar, aku sudah terbiasa menunda hingga lelaki itu beranjak dari dapur.

Setelah melaksanakan salat Isya, aku pun beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sejak awal tinggal serumah, aku tidak pernah mengurusi segala keperluan Hadi. Begitu yang ia minta. Lelaki itu melarangku untuk berlaku layaknya seorang istri. Tidak boleh mempersiapkan makanan dan lain sebagainya. Kami akan mengerjakannya masing-masing. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, karena belum mendapatkan pekerjaan. Jika soal uang, Hadi memberikan untukku selama status masih pengangguran. Namun, hanya sebatas itu, tidak untuk hal-hal lain.

Selain aku dan Hadi. Di rumah juga ada seorang wanita paruh baya yang ikut membantu urusan rumah tangga. Mbok Mih begitu kami memanggilnya. Dialah yang membantu Hadi selama ini. Wanita itu akan datang setiap pagi dan pulang menjelang sore. Dia hanya melayani Hadi, bukan aku.

Aku berjalan ke arah dapur. Perut mulai terasa perih, karena rasa lapar yang terus mengikis. Saat membuka pintu kamar, aku mendengar suara orang yang sedang berbicara dari arah ruang tamu. Kedengarannya seperti suara Hadi. Aku tak peduli, perut diminta untuk segera diisi.

Setiba di dapur, aku membuka tempat penanak nasi. Apa yang terjadi? Nasi yang siang tadi kutanak tidak bersisa. Seingatku setelah makan siang tadi, masih ada sisanya untuk makan malam. Atau memang aku yang lupa? Karena lapar yang terus menyiksa, aku berpindah melihat isi lemari dapur, ada beberapa bungkus stok mie instan. Aku pun mulai mengeksekusinya.

Beberapa menit kemudian, mie kuah soto siap untuk dilahap. Aku sama sekali tak menyadari kehadiran Hadi yang telah duduk di kursi tepat di depanku.

“Masih ada?” Pertanyaannya membuatku tersedak.

“Apa? Kenapa kamu di sini? Bukannya jam malammu di meja makan telah usai?,” sergahku. Sekarang giliranku.” Aku berkata ketus. Tersisa rasa perih di hidung, karena kuah mie instan yang pedas. Aku meneguk air yang baru saja kuambil dari mesin pendingin beberapa kali.

“Aroma kuah sotonya membangunkan cacing yang sudah tidur.” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah mangkuk mie kuahku.

“Ya, sudah. Kamu masak sendiri. Aku mau ke kamar.” Aku pun beranjak dari meja makan. Sisa mie yang masih banyak ikut serta kuangkut beserta gelas air minum. Bisa hilang selera makan jika di dapur berduaan dengan Hadi. Kehadirannya membuat mood-ku hilang seketika. Lelaki itu memang membawa aura negatif bagiku.

“Oya, kamu makan nasi yang telah kumasak?” Aku berbalik badan dan melihat ke arah Hadi yang sedang me

mbuka lemari tempat mie instan tersimpan.

“Ya, Mbok Mih tidak datang hari ini. Aku juga lupa membeli makanan tadi,” ujarnya tanpa melihat ke arahku.

“Bukan urusanku!”

Mbok Mih memang tidak datang, hari ini dia meminta izin, karena mengantar anaknya ke pesantren. Aku merasa aneh saja dengan Hadi. Dia yang membuat peraturan, tapi dia yang lebih sering melanggar. Berbeda denganku, satu peraturan saja harus tertib kulaksanakan. Tidak boleh macam-macam.

“Minggu depan aku akan menikah. Tiara akan tinggal di sini bersama kita.” Suara Hadi masih terdengar dari arah dapur. Aku tak peduli. Lagi pula rumah ini juga bukan milikku. Mereka bebas mau berbuat apa saja.*
(Bersambung)
Editor: Loh

𝐑𝐔𝐒𝐌𝐈𝐍

𝐊𝐞𝐭𝐮𝐚 𝐈𝐈 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐬𝐚𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐫𝐬 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐃𝐏𝐏- 𝐒𝐄𝐏𝐄𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐝𝐢𝐧𝐚𝐭𝐨𝐫 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐊𝐎𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐂𝐞𝐭𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐎𝐧𝐥𝐢𝐧𝐞, 𝑱𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒔.𝒊𝒅- 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐔𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏 𝐅𝐀𝐊𝐓𝐀 𝐓𝐀𝐍𝐏𝐀 𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒 , 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐈𝐧𝐯𝐞𝐬𝐭𝐢𝐠𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐧𝐢𝐭𝐨𝐫𝐢𝐧𝐠 Telepon: 082332930636 / 082312911818.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *