𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈

Menantu Diusir Mertua

Cerber Karya: Rina Novita

Editor : Loh

“EH… eh …, mau ngapain kamu?” Tiba-tiba Kak Norma menghadangku untuk berjalan ke ruang tamu sembari bertanya. “Mau kemana kamu,” tanyanya.

“Mau antar minuman untuk tamu-tamu ibu, Kak,” jawabku.

“Halaah! Bilang aja kamu mau nguping sekalian cari muka. Iya, kan,” sanggah Kak Lina-kakak iparku.

“Cari muka terus kamu sama ibu, ya,” lanjutnya lagi dengan wajah sinis.

“Kamu mau curi-curi informasi warisan dari notaris yang sedang berbincang dengan Ibu itu, kan?” Kak Norma melotot seraya berkacak pinggang di depanku.

Entah kenapa kedua kakak iparku itu selalu saja curiga padaku. Apalagi sejak meninggalnya Bang Irsan-suamiku. Mereka tidak pernah suka jika Ibu mertuaku lebih perhatian padaku.

“Ini ibu yang menyuruhku membuat minum untuk para tamunya, Kak,” seruku.

“Sudah-sudah sini biar aku aja yang antar ke depan,” Kak Norma langsung mengambil alih nampan yang berisi tiga gelas teh di tanganku.

“Hei, Salma! Asal kamu tau ya, kamu tidak akan mendapat warisan sedikitpun. Jadi jangan pernah mimpi bisa hidup enak setelah ibu membagikan warisan seharga milyaran in!” bisik Kak Lina dengan senyum kemenangan.

Aku terhenyak mendengar ucapan Kak Lina. Begitu serakahnya dia. Padahal Kak Lina dan Kak Norma juga menantu sepertiku. Hanya saja suami mereka masih hidup.

Sejak Bang Irsan pergi untuk selama-lamanya delapan bulan yang lalu, meninggalkan aku yang sedang hamil tua. Aku tetap tinggal di rumah besar ini bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Ibu melarangku pergi, karena aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Kedua orang tuaku pun sudah sejak lama tiada.

“Ngapain lagi kamu di sini? Sana ke dapur! Kita udah pada lapar.” Bentakan Kak Norma membuyarkan lamunanku.

Aku berlari mendengar tangisan anakku dari kamar belakang. Sejak sebulan yang lalu, Ibu memintaku untuk pindah ke kamar belakang persis di sebelah dapur. Karena Kak Norma dan suaminya-Bang Safwan memutuskan untuk pindah ke rumah ini.

“Anak Bunda sudah bangun …” Raihan langsung terdiam ketika aku menggendongnya. Anak ini menunjuk-nunjuk keluar kamar. Mungkin dia merasakan tidak nyaman berada di kamar yang sempit dan pengap ini. Kamar ini memang dulunya adalah gudang. Dan sekarang menjadi kamarku.

Sambil menggendong Raihan dengan kain panjang yang kuikat kencang, aku meracik bahan makanan yang sudah aku beli sejak subuh tadi.

Ketika hendak menyalakan kompor, Aku ingin menitipkan Raihan pada salah satu iparku. Anakku ini sudah mulai aktif. Apapun yang berada di dekatnya, hendak diraihnya.

Aku ragu ketika ingin menghampiri mereka yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya ada hal penting yang mereka bicarakan dengan tamu Ibu tadi yang konon katanya adalah seorang notaris.

“Ada apa, Salma?” Aku terlonjak, ternyata Bang Adam, kakak tertua suamiku itu tiba-tiba sudah berada di belakangku.

“T…tidak apa-apa, Bang. Tadinya saya mau menitipkan Raihan. Tapi sepertinya di ruang tamu semua sedang serius,” sahutku.

“Sudah sini sama Ayah Adam aja, yuk!” Laki-laki itu langsung meraih Raihan dari gendonganku.. Raihan pun tampak kegirangan saat akan di gendong pamannya.

Bang Adam, walau pendiam tapi sangat perhatian pada Raihan. Padahal dia sendiri hingga kini belum menikah.

“Terima kasih, Bang!”

Gegas aku kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasku memasak. Selagi Raihan tidak rewel.

Bakwan goreng, oseng cumi jamur, sambal dadakan dan tumis kangkung sudah siap. Aku kembali ke ruang tamu untuk mengintip apakah Raihan rewel. Namun ternyata bocah kecil itu masih tenang berada di pangkuan Bang Adam sambil memakan biskuit. Aku terkikik dalam hati melihat kaos Bang Adam menjadi kotor terkena noda biskuit dari mulut Raihan.

“Ngapain kamu senyum-senyum di situ, haa? Pake ngintip-ngintip segala. Nguping terus kamu!” Lagi-lagi Kak Norma yang sudah berada di belakangku merasa curiga.

Aku menggeleng.

“Aku hanya melihat Raihan aja, Kak. Takutnya rewel,” sahutku.

“Awas kamu macam-macam ya! Masih bagus kamu nggak diusir dari rumah ini, dan kami masih memberikan tumpangan untuk te

tap tinggal di sini,” bentaknya pelan.

Aku hanya bisa membuang napas kasar mendengar ucapannya.

Perlahan aku kembali ke dapur hendak mencuci perlengkapan memasak yang kotor.

Jadi selama ini mereka menganggap aku menumpang di sini. Seandainya orang tuaku masih ada. Sudah pasti aku akan pulang ke rumah mereka saja.

Jika benar setelah rumah besar ini dijual, aku tidak mendapat hak warisan Bang irsan, Bagaimana kelanjutan hidupku nanti?

“Aaa …!” Tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam kamar ibu.

Aku bergegas mencuci tanganku yang bersabun, kemudian berlari ke kamar ibu yang berada di dekat ruang tamu.

Ternyata di sana sudah ada Kak Norma dan Kak Lina yang memijit kaki ibu.

“Ibu kenapa? Ibu jatuh?” tanyaku panik.

Ibu merintih kesakitan seraya memegang kaki kirinya.

“Ini dia orangnya, Bu. Dasar ceroboh! Atau kamu sengaja ya tumpahin minyak di pintu kamar ibu? Lihat, nih! kaki ibu langsung bengkak,” sentak Kak Lina.

“Minyak? minyak apa, Kak? Mana mungkin aku melakukan itu pada Ibu,” sahutku menahan tangis.

Sungguh sakit sekali rasanya dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita lakukan.

“Tadi aku pergokin kamu ngintip-ngintip kita di ruang tamu. Pasti kamu habis melakukan sesuatu yang mencurigakan. Ayo, ngaku aja kamu,” tuduh Kak Norma lagi.

“Astaghfirullah …, Kak. Tadi aku kan sudah bilang. Bahwa aku hanya memastikan Raihan tidak rewel.” Lolos sudah air mataku.
.
“Sudah! Diam kamu Salma! Ibu kecewa sama kamu. Sekarang juga pergi kamu dari sini!”

Sungguh aku tak percaya. Ibu yang selama ini begitu baik padaku, dan sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri, kini memintaku pergi dari rumah ini.

“Kamu tuli, ya? Buruan beresin baju-baju kamu dan cepat pergi dari sini!” Aku terlonjak ketika Bang Safwan juga membentakku.

“Hei, ada apa ini?” tiba-tiba Bang Adam menghampiri.

“Biarkan dia pergi, Bang Adam. Dia hampir saja membunuh ibumu ini,” sahut Kak Lina.

Aku segera ke kamarku dan memasukkan pakaianku dan Raihan ke dalam tas besar yang biasa Bang irsan pakai setiap bertugas keluar kota.

Kemudian kembali ke kamar ibu dan meraih Raihan dari gendongan Bang Adam.

“Jangan kamu bawa cucuku!” pinta ibu dengan suara bergetar.

“Raihan masih minum ASI, Bu. Aku tidak mungkin meninggalkannya.”

Raihan merengek ketika aku menggendongnya dengan kain panjang dan melangkah keluar. Sepertinya anak ini ikut merasakan kesedihanku.

Senyum puas dari ipar-iparku sempat terlihat ketika aku hendak meninggalkan rumah ini. Hanya Bang Adam yang nampak bingung. Namun laki-laki itu hanya diam menatap kepergianku dan Raihan.

Kemana aku harus pergi???

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *