𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Ditinggal Setelah Mahkotanya Direnggut Boss

Cerber: Karya Bilal Zeilan
Editor : Loh
“Ah, sakit,” lenguh seorang gadis ketika keperawanannya direnggut secara terpaksa oleh bosnya sendiri.

Lingga yang melihat wajah kesakitan Dalilah sebenarnya tak tega, tapi dia juga tak bisa berhenti. Sudah kepalang basah. Gadis itu terlalu menarik dan terlalu menggoda.

Memang Dalilah bukan wanita pertama yang ia tiduri, tetapi Dalilah punya daya tarik yang tak pernah dimiliki oleh perempuan lain.

***

“Maafkan saya, Lila,” bisik Lingga yang terus memuaskan hasratnya malam itu.

Ketika Dalilah sudah tertidur pulas dan efek obat perangsangnya sudah hilang, Lingga meninggalkan secarik kertas dan kartu ATM dari dalam dompetnya.

“ATM ini berisi 800 juta. Password 050507. Obati ibumu dengan uang ini dan keluarlah dari club,” tulis Lingga.

Setelah menuliskan itu, Lingga meninggalkan Dalilah yang tertidur pulas. Namun, Lingga tak menyadari apa akibat dari perbuatannya barusan. Bukan hanya saja benih yang tertanam di rahim Dalilah, tetapi juga hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Tujuh tahun berlalu dan bayangan Dalilah tak bisa hilang dari ingatan Lingga Jaya Mahardika. Apalagi setelah malam itu kelelakiannya tak bisa berfungsi dan itu membuatnya sangat frustasi.

“Pak, daftar pelamar tahap satu. Mungkin Pak Lingga mau memeriksanya,” ucap Rena salah seorang sekretaris yang sejak tadi mengawasi bosnya yang sedang melamun.

Lingga dengan malas melihat tumpukan file itu. “Kamu saja yang pilih. Siapa pun boleh yang penting kompeten sepertimu. Gendut, kurus, saya tidak peduli. Yang penting otaknya encer,” ujar Lingga.

“Baiklah, Pak. Nanti saya akan seleksi dan menghubungi mereka untuk wawancara tahap pertama,” jawab Rena singkat.

“Rena, tidak bisakah cuti melahirkanmu ditunda?” tanya Lingga dengan nada frustasi. Meski ia memiliki lima sekretaris termasuk Rena, Lingga tetap membutuhkan tenaga wanita itu. Dalam beberapa hal, sekretaris wanita lebih teliti dan lebih bisa diandalkan daripada sekretaris laki-laki.

“Bisa saja asal Pak Lingga yang menggantikan saya melahirkan,” seru Rena berkelakar.

“Sialan kamu! Kalau saja bukan karena saya membutuhkanmu, saya sudah pecat kamu dari dulu,” ketus Lingga.

Rena tertawa pelan mendengar gerutuan bosnya yang berusia 35 tahun dan masih lajang itu.

“Susah lho Pak cari sekretaris kayak saya,” canda Rena.

Lingga mendengus kesal karena apa yang dikatakan Rena memang benar. Sudah beberapa kali mereka mencoba mencari pengganti Rena sebelum cuti melahirkan, tapi semuanya tak ada yang beres! Sekretari-sekretaris cantik itu hanya peduli dengan penampilan dan kecantikan mereka, tapi kemampuannya nol!

“Kalau begitu, kamu harus cari penggantimu sampai dapat! Kalau belum ada yang pas, melahirkan pun saya paksa kamu kerja. Kalau perlu, suamimu saya paksa menyusui bayimu,” kelakar Lingga lagi.

“Baik, Pak. Bapak yakin nih tidak mau melihat daftar calon sekretaris baru?,” tanya Rena.

“Tidak. Saya sudah bosan melihat CV mereka. Yang ingin saya lihat kemampuan mereka handle pekerjaan, bukan tulisan di atas kertas,” jawab Lingga.

“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Rena.

Setelah Rena keluar dari ruangannya, Lingga memijat pelipisnya yang terasa nyut-nyutan. Beberapa saat kemudian, Desta pun masuk ke dalam ruangannya.

“Pak, sudah saatnya berangkat,” pinta Desta salah seorang sekretaris Lingga.

“Sekarang?” tanya Lingga setengah tak percaya. Belum selesai pekerjaan yang satu, pekerjaan lain sudah menunggu.

“Iya, Pak. Satu jam lagi pesawat pesawat yang ditumpangi Pak Albert datang,” jawab Desta.

“Saya paling malas menunggu,” keluh Lingga yang terpaksa bangkit dari kursinya dan mengambil jas yang ada di gantungan.

“Setelah itu apa rencananya?” tanga Lingga.

“Hanya makan siang dan malamnya Bapak harus menghadiri pesta amal sekaligus merayakan kerjasama dengan perusahaan Pak Albert,” jawab Desta.

Lingga menghela napas panjang sambil merapikan dasinya. “Baiklah, semoga makan siangnya cepat selesai. Saya paling malas basa-basi,” seru Lingga tanpa ekspresi.

“Kalau begitu, saya akan pastikan jadwalnya tidak terlalu molor, Pak. Tapi Anda kan tahu kalau Pak Albert suka mengobrol,” timpal Desta.

Lingga mendengus lagi. “Saya sudah terlalu sering mendengar ocehannya,” omel Lingga.

Mereka berdua pun segera menuju mobil perusahaan yang sudah menunggu di lobi. Selama perjalanan ke bandara, Lingga berusaha untuk memejamkan mata sejenak karena semalam dia hanya sempat tidur tiga jam. Itu pun dia terpaksa harus bangun karena mendapat telepon dari Parahita.

“Pak, silakan tunggu di dalam. Saya pergi ke tempat parkir dulu,” saran Desta begitu sampai di bandara internasional.

“Ah, oke. Tolong belikan saja cappucino panas,” balas Lingga yang langsung turun dari sedan mewah berwarna hitam.

Dia berjalan menuju ruang tunggu yang ada di dalam bandara kemudian duduk di sofa sambil melihat-melihat berita bisnis di ponselnya.

“Om, lagi nunggu siapa sih kok sendirian?” tanya seorang gadis cilik yang tiba-tiba duduk di samping Lingga setelah susah payah dia naik ke atas sofa.

Gadis itu mengenakan baju kodok dengan rambut dikuncir dua kanan dan kiri.

Lingga yang sedang malas meladeni anak-anak pun tak menjawab. Dia lebih suka melihat harga saham yang naik-turun, daripada meladeni ocehan anak kecil.

“Om, katanya kalau orang sombong itu kena azab nginnjek tai kucing,” kata gadis cilik itu lagi sambil melihat ke arah layar ponsel Lingga.

Lingga berhenti menggeser layar ponselnya dan melirik gadis cilik di sampingnya yang sejak tadi mengganggunya.

“Siapa yang mengajarimu soal azab?” tanya Lingga sambil menatap mata gadis cilik itu. Untuk sesaat, Lingga merasa tak asing. Kalau dipikir-pikir, anak ini mirip dengan kembarannya waktu masih kecil.

“Lihat sinetron,” jawabnya dengan nada menggemaskan.

Huuft. Lingga hanya bisa menarik napas dalam-dalam menahan kejengkelannya. Dia baru tahu kalau anak zaman sekarang masih mengenal yang namanya sinetron.

“Di mana orangtuamu, Bocah?” tanya Lingga.

“Namaku bukan bocah Om,” protes gadis kecil itu.

“Oh. Siapa namamu kalau bukan bocah?”

“Shara! Om namanya siapa?” jawab Shara dengan nada menggemaskan. Terlihat sekali kalau anak berusia enam tahun itu adalah yang cerdas.

“Jawab dulu di mana orangtuamu, baru saya kasih tahu nama Om,” pinta Lingga.

Shara terdiam sejenak untuk berpikir. Ia memegangi kepalanya dengan gestur yang lucu dan mengundang senyum. Dan sekarang Lingga benar-benar yakin kalau anak itu mirip Parahita saat masih seusianya. Sayangnya sekarang anak Parahita masih merangkak. Belum sebesar si cebol ini.

“Kalau Mami, pergi ambil koper di sana sama beli es krim. Kalau Dedi, kata Mami sudah mati digigit anjing,” jawab Shara polos.

Lingga terdiam sesaat. Jawaban macam ini? Pikir Lingga jengkel. Entah ibu seperti apa yang mengajari anaknya bicara seperti itu?
(Bersambung)

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles