𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Aku Malu Memanggilnya Bapak

Cerpen Karya: Rum
Editor : Loh

Dengan tergesa dan napas tersengal-sengal aku membawa amplop dari Kepala Sekolah untuk diberikan kepada Bapak. Aku yakin ini adalah kabar gembira. Saat memberikan benda putih ini, Kepala Sekolah tersenyum dengan raut berbinar. Ah, apa mungkin ….

Aku tak ingin menduga-duga, lebih baik membaca langsung. Tentu saja setelah Bapak membuka dan membaca terlebih dahulu.

“Nesha, jangan dibuka sebelum bapakmu yang membukanya,” pesan Kepala Sekolah saat memberikan surat itu.

Setelah sampai rumah, rupanya Bapak belum pulang dari ladang, padahal sudah pukul lima sore. Tak lama berselang, pria pendiam itu terlihat mengayuh sepeda tuanya. Baju kerja yang dikenakannya tampak basah oleh peluh. Kulitnya legam karena sering terpanggang terik matahari. Namun, pria itu tetap terlihat gagah dan tampan.

Aku menunggu dengan tidak sabar. Pria itu menyandarkan sepeda pada dinding di samping rumah.

“Pak, ada surat dari Kepala Sekolah,” kataku setelah Bapak menapaki teras.

Bapak mengambil amplop di tanganku tanpa berkata-kata, hanya tersenyum. Tidak kulihat jejak penasaran di wajah berminyak itu. Sementara aku, entah sudah berapa puluh kali berandai-andai jika isi amplop itu adalah kabar gembira yang selama ini ditunggu-tunggu.

Aku mengekori Bapak yang berjalan masuk. Setelah melepas topi lusuh dan mengaitkan pada paku di dinding, Bapak duduk lesehan di lantai. Tidak ada kursi di rumah kecil kami. Satu pun tidak ada.

Bapak tersenyum lembut dengan wajah berbinar setelah membaca isi surat. Sungguh, baru kali ini aku melihat wajah Bapak secerah itu.

Seperti tertular, aku pun melebarkan senyum dan segera meraih surat di tangan Bapak. Seperti dugaanku, Bapak mendapatkan undangan khusus dari sekolah. Biasanya, orang tua yang mendapat undangan tertulis adalah yang anaknya akan naik ke atas panggung mendapat penghargaan.

Sebelum hari itu tiba, Bapak menyiapkan segalanya. Beliau meminjam setrika untuk merapikan baju terbaiknya, baju safari dengan dua saku di bagian depan bawah, dan satu saku di bagian atas dada sebelah kiri. Baju itu setiap tahun Bapak kenakan ketika lebaran dan ketika ada acara penting, seperti saat ini. Songkok hitam yang tepian bawahnya menguning, bertengger di pucuk kepala Bapak.

Aku yang sudah bersiap, menunggu Bapak di teras.

“Kita pakai sepeda, Pak,” saranku.

“Iya nak,” jawab Bapak.

Ah, hari ini benar-benar spesial.

Jarak belasan kilometer kami tempuh untuk sampai di sekolah. Titik-titik peluh di punggung Bapak terlihat menembus baju safarinya. Sepanjang jalan, tidak ada percakapan tercipta hingga kami tiba.

Di gedung sekolah, sudah terlihat banyak siswa dan para wali ketika kami sampai. Bapak menyeka peluh di wajah dengan serbet yang sengaja dibawa di dalam saku celananya.

Kami mengedarkan pandangan untuk mencari kursi kosong. Terpaksa kami duduk terpisah, karena hanya menemukan satu kursi kosong di pojok depan, dan satu di tengah. Bapak memilih duduk di tengah, aku di depan.

Tak lama berselanng, acara dimulai.

Ketika agenda tiba pada pembacaan ranking, degup jantungku semakin tak terkendali. Aku meremas jemari di pangkuan yang terasa dingin. Satu-dua kali menengok ke belakang, ke arah Bapak. Pria tampan itu tersenyum, seolah mentransfer semangat.

Pembacaan ranking rampung, agenda merangsek pada prosesi penobatan Bintang Pelajar. Pembawa acara membaca pengantar dengan kalimat-kalimat puitis. Pada saat akan menyebutkan nama siswa terbaik, pembawa acara itu menjeda dengan pandangan mengedar ke arah hamparan manusia di depannya. Jantung berdegup kencang tak keruan, berdebar-debar.

” … dinobatkan kepada … siswa bernama … Akmal Zidan bin Mahmud ….”

Deg.

Tepuk tangan menggema memenuhi ruangan di ujung kalimat pembawa acara. Semua mata mengedar untuk mencaritahu siapakah gerangan siswa terbaik tersebut.

Sejurus kemudian, seorang siswa yang duduk berjarak dua kursi dariku, berjalan dengan ayahnya menaiki panggung.

Bukan … bukan aku. Bukan aku yang mendapatkan penghargaan itu.

Di sini, dengan dada terasa sesak, aku menoleh kepada Bapak. Mataku berkaca-kaca. Ingin sekali rasanya menangis, tapi malu. Sementara di sana, Bapak tersenyum memandangku. Bahkan senyum itu merekah lebih lama dengan tatapan lekat. Sama sekali tidak ada jejak kecewa di sana.

Beberapa hari setelah hari itu, Bapak ditemui Kepala Sekolah. Beliau meminta maaf karena telah mengirim undangan yang sebenarnya bukan untuk Bapak.

***

Setahun kemudian, Mamak datang dengan suami barunya yang kaya. Mamak mengajakku untuk tinggal bersamanya, karena Bapak tidak mampu menyekolahkanku.

Bapak mendukung dan meyakinkan bahwa hidupku akan lebih baik jika tinggal dengan Mamak.

“Ikutlah dengan mamakmu, nanti Bapak akan sering berkunjung,” kata Bapak dengan mata berkaca-kaca.

Aku mengiakan dan memeluknya erat-erat sebelum akhirnya pergi meninggalkan Bapak, rumah, berikut ratusan kenangan di dalamnya.

Benar, bersama Mamak, aku melanjutkan pelajaran di SMP ternama dan banyak mendapatkan teman. Terlepas dari semua hidup berkecukupan yang kupunya, ada satu hal yang membuat hatiku nyeri. Bapak hanya sekali menjenguk, hanya pada bulan kedua aku tinggal dengan Mamak.

Ketika SMA, kenyataan baru terungkap. Aku memberanikan diri bertanya pada Mamak kenapa mereka berpisah. Aku sempat tak percaya ketika Mamak berkata jika Bapaklah penyebab keretakan rumah tangga mereka. Bapak selingkuh dengan perempuan lain di kampung sebelah.

Saat itu, aku tak lagi berharap Bapak datang menjenguk. Rasa rindu yang selama ini terpupuk subur, perlahan lindap, berganti dengan rasa benci.

Setelah lulus SMA, aku melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku terkesiap saat melihat tukang sapu halaman kampus. Pria bermasker dan bertopi lusuh itu terlihat seperti Bapak. Aku mengenal matanya, juga … sepeda tua yang dipakainya. Namun, aku pura-pura tidak mengenalnya. Selain benci, aku merasa malu jika teman-teman tahu kalau bapakku adalah tukang sapu kampus.

Hampir setiap hari, di jam yang sama, aku mendapati Bapak menyapu di tempat yang sama, di jalan masuk parkir. Pria itu akan memandang dan tersenyum ke arahku. Aku hanya melirik sekilas, lalu kembali tertawa bersama teman-teman.

Keangkuhan itu bercokol di dada hingga aku berada di ujung semester tujuh. Sampai akhirnya, Mamak sakit parah.

Merasa bersalah, Mamak mengatakan semuanya, bahwa Bapak tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Sebaliknya, Mamaklah yang justru mengkhianati. Tak hanya itu, bahkan Mamak melarang Bapak untuk menemuiku.

Meski demikian, Bapak tetap memberikan nafkah untuk anaknya ini, termasuk menyumbang untuk biaya pendidikanku hingga kuliah.

***

Aku tertegun melihat pria kurus setengah baya yang berjalan mendekat ke arahku. Baju itu … mengingatkanku pada potongan kenangan bertahun-tahun lalu bersamanya. Baju safari itu masih disimpan Bapak meski warnanya sudah pudar.

Aku menghambur dan mendekap tubuh kurus Bapak. Mataku berair. Selain ingin meminta maaf, aku juga akan memberitahunya sebuah kabar gembira. Itu sebabnya aku meminta Bapak untuk menemuiku di sini.

“Bagaimana kabar mamakmu?”

“Kenapa Bapak tidak pernah menemui Nesha?”

“Maafkan bapak.”

“Kenapa Bapak tidak mengatakan yang sebenarnya pada Nesha?”

“Bapak dengar mamakmu sedang sakit parah? Maaf bapak belum sempat menjenguk.”

“Nesha benci dengan Bapak!”

“Sebentar, Bapak pesan makanan dulu.” Tak peduli, pria itu beranjak meninggalkanku yang terisak.

Beberapa menit kemudian, Bapak membawa dua mangkuk bakso dan menaruhnya di atas meja. Buru-buru aku mengusap genangan di mata.

“Nesha minta maaf ….”

Bapak mengangkat wajah menatapku, senyumnya merekah lembut.

“Bapak tahu? Nesha menjadi lulusan terbaik kampus.” Aku berkata setelah isakanku reda.

***

Setelah prosesi wisuda selesai, aku diminta untuk menaiki podium untuk menerima piagam penghargaan serta menyampaikan pesan dan kesan.

Aku menyapu pandangan pada setiap orang di depanku. Namun, aku tidak melihat Bapak.

Bapak pasti meghindariku agar tidak ada yang tahu jika dirinya adalah orang tuaku. Seperti katanya waktu itu, “Jangan sampai teman-temanmu tahu kalau tukang sapu ini adalah orang tuamu, Nak.”

Tentu saja tidak akan. Tidak akan aku turuti permintaan itu meski membangkang ucapan orang tua adalah dosa.

Sejurus kemudian, saat kaca-kaca di mataku menebal, Bapak terlihat berdiri di pintu gedung dengan seragam kerjanya. Beliau menatapku dengan senyum merekah.

“Penghargaan ini … saya persembahkan untuk pahlawanku. Pria di bawah bingkai pintu.”

Suaraku menggema. Semua orang menoleh pada satu-satunya orang yang berdiri di bawah bingkai pintu masuk. Gegap gempita tepuk tangan memenuhi gedung. Bapak melangkah setelah diminta untuk menaiki panggung.

Asal Bapak tahu, jika seandainya aku diminta untuk menulis nama-nama pahlawan, maka nama Bapak akan kutulis di urutan pertama.***

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *