Karma Untuk Suamiku
Cerper karya: Bunga Nawar
Editor : Loh
MAS, aku ingin pergi bersama denganmu. Aku sudah tak sabar untuk menghabiskan waktu denganmu.
Siap, Sayang. Nanti kita susun cara buat menyingkirkan Linda.
Tanganku gemetar sambil membaca pesan yang masuk ke dalam gawai suamiku. Kulirik ke arah Mas Adam, suamiku, ia masih tertidur pulas dengan senyum yang terulas di bibirnya.
‘Ya Allah, Mas. Tega benar kamu! Aku di rumah capek dengan urusan rumah tangga, sementara kamu enak-enakan selingkuh!’ batinku.
—
Pagi ini aku menyiapkan sarapan sekadarnya. Tak ada acara memasak seperti biasanya. Hanya roti tawar dan juga selai.
Mas Adam terlihat menuruni tangga. Ia hendak mencium keningku seperti biasa, namun secepat kilat aku menghindar.
“Maaf, Mas, aku sakit perut. Mas sarapan duluan aja.”
Aku berjalan menuju kamar mandi. Menumpahkan tangisku di sana, tega benar suamiku melakukan hal demikian.
Teringat kembali saat dulu dia mengejar-ngejarku. Saat aku selalu menolak permohonannya secara mentah-mentah, lalu akhirnya luluh hanya karena dia menjenguk orang tuaku yang tengah sakit.
Aku keluar dari kamar mandi, tampak Mas Adam tengah tersenyum-senyum sembari menatap gawainya.
“Mah, nanti Lita mau ke sini katanya.”
Aku mengangguk. Lita adalah saudara jauh suamiku. Mereka sangat dekat sejak dulu, begitu kata Mas Adam dan juga ibu mertua.
“Apa kamu sebahagia itu, Mas,” ucapku kemudian masuk ke dalam kamar.
Kulihat kembali foto profi hul wanita itu. Dia tak menggunakan wajah sebagai identitas, ia hanya menggunakan potret tangannya yang menggunakan gelang berwarna putih dengan bintang sebagai liontin di ujung rantainya.
Semalam, aku langsung mengirimkan nomor wanita itu ke gawaiku, tak lupa kukirimkan pula screenshot foto profilnya.
Lidam, nama profil wanita itu. Apakah itu sebuah singkatan dari kedua nama pengkhianat itu?
“Ma, kok masuk kamar? Anak-anak gak di siapin mau ke sekolah? Kasian Mbak Ica itu, kerepotan sendiri.”
Suara Mas Adam membuyarkan lamunanku. Benar juga, sekarang bukan waktunya Aluna dan Edwin berangkat sekolah.
Aku mempunyai dua anak di usia 33 tahun. Yang sulung, Aluna, umur 9 tahun, sedangkan yang bungsu, Edwin, umur 7 tahun. Jarak mereka hanya 2 tahun saja. Bisa dibayangkan bagaimana ngomelnya mertua pas aku hamil?
“Mbak, tolong siapkan minum, ya. Biar saya saja yang merapikan bajunya. Kakak, udah nyiapin buku belum?”
“Sudah, Mah.”
“Oke, sip.”
Kulihat Mas Adam tengah fokus dengan gawainya. Huh! Lagi-lagi gawai, pasti ia sedang bermain api dengan selingkuhannya. Aku harus selidiki semua itu.
—
Setelah anak-anak dan Mas Adam berangkat, aku masuk ke dalam kamar. Bersantai sejenak sebelum membantu pekerjaan rumah. Aku tak pernah melimpahkan semua pekerjaan itu pada Mbak Ica.
“Bu, saya mau belanja.”
“Ya, Mbak. Sebentar.”
Aku mengambil dompet, lalu menyerahkan satu lembar uang berwarna merah, dan mengangsurkannya.
“Bikin sop iga sama pergedel ya, Mbak.”
Setelahnya, aku kembali berbaring. Mengambil gawai, lalu menghubungi wanita bernama profil Lidam itu.
[Assalu’alaikum.]
Lama tak ada jawaban, aku tinggal mandi dulu saja. Setelah selesai mandi, aku membuka gawai yang tampak ada notifikasi, diketahui dari lampu di atas gawai yang berkedip.
Wa’alaikum salam, Nyonya Adam.
Deg!
Wanita ini tau namaku? Siapa dia sebenarnya?
Kamu tahu aku?
Send.
Tentu. Kamu adalah sainganku. Cepat pergi dari sisi Mas Adam. Karena dia adalah milikku.
Astaghfirullah! Wanita macam apa dia?***