Menantu Pilihan Ortu
Novel Karya: Andri Lestari
Editor : Loh
KATA Mak dan Abah, hari ini kami akan kedatangan tamu istimewa. Seistimewa apa aku juga belum tahu? Pastinya Mak memintaku untuk memakai baju paling bagus yang kupunya. Sebagus apa? Toh, bajuku, ya, begitu-begitu saja. Memiliki model yang sama, bahkan warna pun hampir serupa.
“Dandan dikit, ya, Nduk,” seru Mak.
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa harus dandan? Kan percuma, wajahku pun tertutup cadar.
“Memangnya yang mau datang iku sopo tho, Mak,” tanyaku pelan.
“Orang penting. Orang yang pernah membantu Mak dan Abah dulu,” jawab Mak.
Lagi-lagi jawaban Mak membuatku harus berpikir keras. Sama sekali aku tidak mempunyai bayangan, siapa tamu yang akan datang kali ini. Dan aku melihat Mak serta Abah begitu sibuk. Mak sedang menata beberapa ragam kue ke dalam wadah. Kue-kue yang ia buat sendiri sejak tadi malam. Sementara Abah, beliau sedang menyapu ruang tamu sederhana kami.
“Abah, sudah bisa dihidang belum kuenya,” Mak berteriak agak keras. Aku masih membantu wanita paruh baya itu menata potongan-potongan bolu dan agar-agar di dalam piring keramik berwarna putih, dengan hiasan bunga tulip merah di pinggirnya. Piring istimewa yang sebelumnya tersimpan di dalam lemari. Hanya dikelurkan saat ada acara istimewa dan digunakan untuk tamu-tamu khusus saja.
“Nanti saja, Mak. Sekalian dengan minumnya. Datang dulu tamunya,” saran Abah.
“Kalau nunggu tamu datang, kelamaan, Bah,” jawab Mak.
Mereka masih bersahutan satu sama lain.
“Ya jangan sekarang juga, dong, Mak. Nanti didatangi semut,” ujarku.
Akhirnya Mak terdiam juga. Pada dasarnya Mak memang seorang wanita yang mempunyai sifat panik. Semua hal yang akan diurusi dan dipikirkan. Sehingga ia sering sakit akibat pikiran yang berlebihan.
“Nduk. Kamu belum siap-siap juga,” tanya Mak sedikit kaget melihatku masih berada di dapur. Sepertinya Mak baru menyadari jika aku berada di sini sejak tadi.
“Sudah, Mak. Dari tadi juga sudah selesai. Mau ke depan bantu Abah,” Aku melenggang pergi ke arah depan.
“Eh, tunggu! Sudah apanya? Ini lihat baju sama jilbabmu, wes pudar warnanya. Apa ndak ada baju lain, tho?”
“Kan ngga masalah, Mak. Sing penting bersih san suci,” aku tersenyum melihat raut wajah wanita yang ada di depanku ini.
“Tapi ndak wah gitu, lho. Kan ini acara kamu, Nduk. Pakailah baju yang istimewa juga. Itu wajahmu mbok, ya, dipolesin. Bibirmu juga jangan pucet gitu,” pinta Mak.
“Enggak, ah. Mak ada-ada aja. Biasanya ‘kan juga gini, Mak. Kenapa sekarang jadi masalah?” Aku memanyunkan bibir.
“Karena yang datang hari ini adalah calon suamimu, Aira,” timpal Mak dongkol.
Aku tersedak ludah sendiri. Mak sama Abah memang cocok jadi artis Srimulat. Suka bikin lucu. Calon suami dari Korea? Lha wong umurku baru dua puluh tahun. Kira-kira lelaki mana pula yang mau menikah denganku? Seorang gadis rumahan yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan lelaki di sekitar desaku. Hari-hari hanya kuhabiskan di sebuah pabrik roti tempatku bekerja. Sebelum adzan Shubuh aku sudah berangkat menggunakan angkutan umum dan tiba di rumah kembali saat malam hari. Menunggu angkutan umum menuju desaku membuat aku harus rela menghabiskan waktu di mushalla dekat halte angkutan yang biasa aku tumpangi.
Lalu siapa pula lelaki yang sakit matanya itu?
“Kenapa bengong? Kamu dijodohkan dengan dia, karena ibunya yang minta. Mak, sih, ngikut aja. Pun mereka berasal dari keluarga baik-baik, berpendidikan dan terpandang pula. Kamu pasti bahagia, insyaAllah.”
***
Rasa penasaran membuat hatiku tak tenang. Siapakah lelaki yang akan tiba itu? Apakah dia mengenalku? Lalu, siapa kerabat kami yang sukses dan terpandang? Rasa-rasanya tidak ada. Pikiranku masih sibuk melanglangbuana. Mengingat-ingat tentang lelaki terpandang yang disampaikan Mak tadi. Meski begitu, kedua tanganku tetap cekatan mengikat tali cadar yang akan kukenakan.
“Aira. Cepat, Nak. Itu mereka sudah tiba. Duh! Jangan lama, Nak.”
Aku dikagetkan oleh suara Mak yang berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya menyiratkan rasa panik dan gugup.
“Tenang, Mak jangan panik. Aku pas
ti keluar, kok. Yuk!” Aku menggandeng lengan Mak dan kami pun berjalan beriringan.
Tamu yang dinanti sejak tadi masih di luar. Sepertinya sedang mencari tempat yang pas untuk memarkirkan mobil. Aku mencoba mengintip, tapi Mak menyuruhku masuk.
“Tunggu di kamarmu. Nanti Mak panggil kalau sudah waktunya,” pinta Mak.
“Waktunya? Seperti mau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa saja,” batinku.
Aku berbalik arah menuju kamar. Menunggu di dalam dengan perasaan tak menentu. Hidung kembang kempis. Jantung berdetak lebih cepat. Serta keringat dingin mulai membasahi punggung.
“Lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh …” Aku menghitung penuh kejenuhan.
“Aira, kamu dipanggil, Nak. Ya Allah, Mak ndak bisa napas, Nduk. Mas Raihan sudah gagah bener. Ganteng,” goda Mak.
Raihan? Kurasakan kehangatan menjalar di wajahku. Aih! Apa-apaan ini!
“Mak, kenapa, sih?” Aku pura-pura tak menghiraukan ucapan beliau.
Mak menggandengku menuju ruang tamu. Aku berhenti di belakang kursi. Mataku terpaku pada sosok laki-laki di depanku. Tak henti aku mendengungkan istighfar di dalam hati. Sungguh, mataku tak berkedip melihat lelaki itu. Di sampingnya duduk wanita paruh baya dan ia tersenyum lebar ke arahku.
Aku mundur beberapa langkah. Menarik tangan Mak ke belakang. Mak kaget dan terlihat terpaksa mengikuti ajakanku. Tak peduli dengan sikap heran mereka, aku ingin semuanya diperjelas.
“Aira, kamu kenapa, Nduk? Jangan malu-maluin.” Mak berkata tak senang.
“Malu-maluin gimana? Tadi Mak bilang gagah plus ganteng. Lha itu?”
“Iya. Gagah! Ganteng. Mas Raihan calonmu itu, Nak,” Ibu bersikeras.
“Gagah, sih, lumayan. Tapi ganteng? Dih! Amit-amit, Mak. Mana kumisan.” Aku sesak menahan tangis. Boro-boro mau nikah, lihat calonnya saja aku sudah ilfil.
“Kumisan?”
“Iya! Masa Mak ndak bisa lihat kumisnya itu segede lintah. Mana sudah berumur lagi. Mak sama Abah, kok, tega?” Aku tersedu juga akhirnya. Tak terbayang akan dijodohkan dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahku.
“Lha. Bukan itu, Nduk. Mas Raihan itu yang di luar. Dia belum masuk. Kalau yang kumisan itu pamannya dia. Adik kandung calon ibu mertuamu.”
Kulihat Mak menutup mulut menahan tawa.
“Hah! Moso,” sentakku.*