𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈

Majikanku Tante Girang

Cerpen Karya: Megan Allea

“KAMU boleh lihat tubuhku kapanpun. Tapi berusahalah jaga sikap di depan suamiku. Sekarang dia sedang dinas di luar negeri. Seminggu lagi baru pulang. Mengerti,” tanya Nyonya Anandi, sambil mengerlingkan sebelah mata padaku.

Gerak-geriknya kembali menantang sesuatu yang mulai terusik dalam diri ini. Apa dia sengaja ingin disentuh?

Tunggu!

Apa aku tak salah dengar saat dia katakan, boleh melihat tubuhnya kapanpun? Ah, pikiran memang susah bersih jiga sudah menyangkut perempuan. Meski saat di kampung aku hanya bisa menikmati lekukan indah perawan mandi di pinggir sungai. Sebatas itu, tak berani bertindak jauh, karena sadar diri. Aku tak punya uang untuk menyenangkan mereka.

Setelahnya ia melangkah menuju paviliun bagian belakang rumah ini. Beberapa pintu kamar yang sepertinya tak terlalu besar dilihat dari deretan pintu yang dekat.

“Ini kamar para pelayan,” ucapnya sambil terus berjalan hingga ke ujung dan berhenti di sebuah pintu.

Nyonya Anandi merogoh kunci dari gaun yang tak menutupi pahanya. Lalu memutar knop setelah terdengar suara kunci terbuka. Jemari lentik dengan kuku mengkilap itu menguak pintu kamar yang ternyata isinya lumayan luas.

Biar kutebak. Kamar-kamar di paviliun ini bentuknya memanjang ke belakang. Sekitar 2×4 meter. Cukup luas untuk ukuran kacung sepertiku.

“Ini kamarmu. Kalau butuh apa-apa bilang aja ya, jangan sungkan,” pintany dan sorot matanya nakal menunjuk area sensitif tubuhku.

Ingin rasanya menarik tubuh itu dan menguncinya ke dalam kamar di paviliun ini. Tapi aku tak sebodoh itu. Akan kuikuti permainannya untuk sementara tanpa merendahkan diri. Bisa saja dia sedang mengujiku seperti majikan di film-film.

“Oh iya, apa kamu punya hape?” tanyanya lagi membalikan badan dalam satu gerakan sambil mengibas rambut legamnya yang bergelombang.

“Tidak, Nyonya,” jawabku.

“Yasudah nanti saya belikan biar kita bisa komunikasi,” serunya.

Aku mengangguk dan setelahnya dia benar-benar pergi tanpa menoleh lagi. Seperti sengaja berjalan berlenggak-lenggok dengan sepatu hak tinggi. Hah, apa juga itu memakai sepatu aneh di rumah. Orang kaya memang susah ditebak.

Esoknya aku mulai bekerja setelah sarapan kopi dan roti bakar. Merawat tanaman memang butuh ketelatenan agar hasilnya memuaskan, tak heran orang kaya rela menyewa tukang kebun sepertiku hanya untuk mengurus bunga-bunga hias seperti ini.

Tak seperti pelayan yang di rumah ini memiliki seragam kerja perpaduan warna hitam dan putih. Supir juga punya seragam warna hitam, kalau di desaku mirip seragam pak kades. Hanya aku di sini pekerja yang memakai pakaian seadanya dari kampung.

“Mas Kara, dipanggil Nyonya Anandi ke kamarnya,” teriak Lesty, salah satu pembantu yang tampangnya manis dan masih muda.

“Iya, Les. Saya mau bersih-bersih dulu,” sahutku tanpa menatapnya.

“Yasudah, hati-hati ya, Mas,” Lesty mengingatkan dengan nada sopan.

Berbeda dengan Nyonya Anandi, meski gadis itu beberapa kali mencuri pandang ke arahku, tapi dia cukup menjaga image dan jual mahal.

Sambil melamun tangan ini cekatan membereskan peralatan kebun untuk dibawa ke gundang. Lalu setelahnya kuputuskan mandi untuk mebersihkan badan. Lantas berganti pakaian bersih dan langsung menemui Nyonya dengan badan lebih segar.

“Masuk, Mas,” seru Nyonya dari dalam.

Apa-apaan ini, sekarang dia juga memanggil aku dengan sebutan MAS?

Tanpa disuruh dua kali, segera kubuka pintu dan menghampiri dirinya yang tengah duduk di sofa. Kamar ini sangat besar dengan fasitilas lengkap. Bahkan ada kursi pijat.

“Mas, mau dipijat?” tanyanya saat aku memperhatikan sekilas isi kamar.

“Tidak, Nyonya.” Aku menyahut sungkan sambil menundukan pandangan.

“Ya sudah. Ini hape buat kamu.” Nyonya Anandi menyodorkan paper bag ke arahku.

Aku mengambilnya dengan hati-hati seolah benda itu porselen yang mudah pecah.

“Terimakasih, Nyonya. Saya permisi!”

Nyonya Anandi mengusir dengan isyarat tangan. Segera aku keluar sebelum setan kembali menggoda. Karena Nyonya gila itu hanya memakai pakaian yang sepertinya hanya cocok di kamar. Aku tak tahu apa namanya, yang pasti semuanya transparan.

Nggak takut masuk angin apa?

Bergegas langkahku menuruni anak tangga menuju dapur. Mengatur napas setelah sampai, karena berjalan cepat lumayan bikin dada pengap.

“Sudah ketemu Nyonya?” tanya Lesty saat aku tengah menyeduh kopi susu kesukaanka di dapur.

“Udah.” Aku menyahut sekenanya sambil terus memutar sendok yang tenggelam dalam cangkir.

“Hati-hati, jangan sampai kamu tergoda.” Lesty berkata setengah berbisik dengan sorot wajah serius.

“kenapa?” tanyaku santai.

“Kalau sampai Tuan Hans tau ada yang mencoba mendekati Nyonya. Bisa-bisa Mas Kara pindah alam.” Kata-katanya itu seperti mengambang di telinga, lalu Lesty berlalu begitu saja.

Pindah alam?
Maksudnya alam baka?
Mati!

Tiba-tiba tengkukku bergidik ngeri. Mungkinkah sudah banyak pemuda yang ditumbalkan Nyonya di rumah ini. Aku tak boleh lengah. Bisa saja dia nyosor dan membuatku tak mampu menolak.

Mengerikan sekali orang bernama Anandi ini. Ada yang aneh dengan rumah sebesar ini sejak aku kemari. Tak ada suara anak-anak ataupun orang dewasa yang pantas dikira anaknya. Apa Nyonya itu mandul?

Pagi sampai sore aku bekerja sesuai yang diperintahkan Nyonya. Tante girang itu tak lagi mengganggu setelah penolakan halus di kamar tadi. Merebahkan tubuh di kasur busa empuk dan mulai mengotak-atik benda pipih di tangan.

Mempelajari manual ponsel yang seumur-umur baru kupunya ini. Aku tak terlalu gaptek karena dulu sering lihat teman yang punya hape dan sedikit-sedikit tahu cara penggunaanya.

Satu persatu aplikasi kususuri hingga sampai di galeri. Mataku seketika melebar. Terlonjak kaget tubuh ini sampai berubah posisi menjadi duduk. Banyak video dan foto-foto vulgar Nyonya Anandi di sana.

“Apa-apaan ini. Apa dia tidak takut kuserbar privasinya?” gumamku kesal, lalu menghapus semua pemandangan tak senonoh itu.

Jangan sampai suatu saat Tuan Hans mengecek ponsel ini dan mendapati segala tentang istrinya ada di hapeku. Bisa-bisa aku disangka terobsesi dengan Tante girang itu. Dan benar kata Lesty. Mungkin aku akan dipindahkan ke alam baka andai mengkoleksi foto-foto menjijikkan itu.

Esoknya rutinitas kembali diulang seperti hari kemarin. Tak ada yang aneh kecuali otak yang semakin tak karuan, gara-gara foto tak senonoh Nyonya Gila itu. Huh! Dasar perempuan mesum!

“Mas Kara, dipanggil Nyonya,” teriak Lesty setelah aku selesai menyiram tulip di halaman depan.

Aku mengangguk dan bergegas melewatinya tanpa suara.

“Hati-hati, Mas!” bisik Lesty saat aku lewat.

Langkah ini bergegas membawa menuju lantai dua.

“Masuk, Mas!” pekikan Nyonya dari dalam mengaburkan lamunanku.

“Udah dicek hapenya, Mas?”

“Sudah.”

Susah payah saliva kutelan. Apa-apaan lagi kali ini. Nyonya hanya memakai pakaian dalam di hadapanku. Mungkinkah urat malunya sudah putus. Ah, bahkan foto-foto dan video itu seharusnya sudah menunjukan kalau Nyonya kehilangan kewarasan.

“Kenapa melamun?”

“Mas Kara mau dipijit?”

“Tidak, Nyonya. Ada yang bisa dibantu?” tanyaku sambil terus menundukkan pandangan.

“Pijit saya!” perintahnya yang seketika membuat mata ini seperti ingin ke luar dari sarangnya saking kagetnya.

Nyonya Anandi mulai telungkup di sofa.

“Maaf saya tidak bisa, Nyonya,” jawabku.

“Kenapa?” Pertanyaannya terdengar seperti gumaman mengejek.

“Saya sudah punya istri dan anak, Nyonya.”

“Apa?,” tersentak Ny Anandi.

(Bersambung)
Editor: Loh

𝐑𝐔𝐒𝐌𝐈𝐍

𝐊𝐞𝐭𝐮𝐚 𝐈𝐈 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐬𝐚𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐫𝐬 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐃𝐏𝐏- 𝐒𝐄𝐏𝐄𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐝𝐢𝐧𝐚𝐭𝐨𝐫 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐊𝐎𝐑𝐍𝐀𝐒) 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐂𝐞𝐭𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐎𝐧𝐥𝐢𝐧𝐞, 𝑱𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒔.𝒊𝒅- 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐔𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏 𝐅𝐀𝐊𝐓𝐀 𝐓𝐀𝐍𝐏𝐀 𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒 , 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐈𝐧𝐯𝐞𝐬𝐭𝐢𝐠𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐧𝐢𝐭𝐨𝐫𝐢𝐧𝐠 Telepon: 082332930636 / 082312911818.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close