Wartawan Sering Dizalimi
Oleh: Rusmin
Penulis: Ketua II Dewan
Pimpinan Pusat Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS), Kordinator Nasional Media Online Jurnalsepernas.id, dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan.
Pers dan Wartawan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ibarat sebuah Armada transportasi laut, Pers Kapalnya dan wartawan adalah awaknya. Atau pengertian sederhananya, pers adalah perusahaan penerbitan atau penyiaran; seperti media cetak elektronik dan online. Sedangkan wartawan adalah orang-orang yang menjalankan. Tanpa media, wartawan tidak bisa bekerja.
Demikian sebaliknya, tanpa wartawan media tidak dapat beroperasi. Dalam tatanan negara berdemokrasi pers berada di jajaran Fourth State atau pilar keempat di republik ini sesudah Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Pers di mana dalam peranannya memiliki empat fungsi yakni; sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, dan kontrol sosial.
Karena bergerak di bidang informasi atau pemberitaan yang berhadapan dengan berbagai kalangan, wartawan dalam menjalankan tugasnya di patron dengan payung hukum yakni; undang-undang nomor 40/1999 tentang Pers dan kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Ketika wartawan menjalankan fungsinya yang keempat yakni; kontrol sosial, banyak kalangan yang mengembang jabatan alergi dan kebakaran jenggot hingga mengumpat tidak mau ditemui. Mereka ini kelabakan sampai-sampai emosi bila sempat dikonfirmasi terkait dengan pekerjaan yang mereka emban terindikasi beraroma korupsi, ada penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang mereka kemas tidak mau diuber para pemburu berita.
Orang-orang terindikasi mempunyai kesalahan inilah yang sering berbenturan dengan para wartawan hingga menzalimi, maka sering kita mendengar wartawan; dilarang meliput, dianiaya, dirampas kameranya, dan dihina, bahkan tidak jarang dibungkam.
Singkatnya, berbagai macam tantangan dan perlakuan yang tidak bersahabat dari orang-orang yang tidak mau dikontrol dan dikoreksi kinerjanya. Mereka terus-menerus menjalankan penyimpangan, terutama yang berkaitan dengan penggunaan anggaran. Sebutlah, mereka ini yang tugasnya berhubungan dengan uang atau dana. Contoh kecil unsur pejabat SKPD, Kepala Desa, Kepala Sekolah, dan anggota polantas.
Harus juga diakui bahwa, banyak pejabat tidak bisa membedakan mana Wartawan Tanpa Suratkabar (WTS) mana wartawan Muncul Tanpa Berita (Muntaber), mana LSM petantang-petenteng dibekali embel-embel seperti: uni form (Seragam), ID Card (Kartu Indentitas), Tas, dan atribut lainnya.
Etika kesopanan dan gaya bahasa tidak menjadi soal, yang penting berlaga dan berani tampil.
Dalam kesempatan ini ingin penulis menjelaskan bahwa, untuk mengenal wartawan sangat mudah, jangan hanya melihat penampilan chassing belaka. Lihatlah medianya dan beritanya, sebab yang dimaksud dengan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Pasal 1 ayat (4 ) UU No 40/1999. Sekurang kurangnya, yang dilihat adalah nama medianya sama dengan yang tertera dalam Kartu Persnya. Tapi sebenarnya kalau mau lebih jauh, ada namanya di box redaksi dan ada beritanya di media yang dia bawa, tidak diragukan lagi.
Satu hal penulis ingin menekankan kepada rekan-rekan jurnalis bila merasa dizalimi seperti; tidak diizinkan meliput, diancam, dan dihina/dilecehkan silakan melapor ke polisi gunakan Pasal 18 a UU No 40/1999 mengenai ketentuan pidana: Setip orang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah) .
Yang paling aman saling menghargai tugas dan profesi, tingkatkan kemitraan dalam persatuan demi Indonesia jaya.*