Perusahaan Kelapa Sawit Langgar Komitmen
Tenggarong, Jurnalsepernas.id – PERUSAHAAN bergerak dalam bentuk apapun namanya, apabila menanamkan sahamnya ke sebuah daerah tertentu, harus menguntungkan masyarakat yang bermukim di sekitar daerah tersebut, apalagi perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, harus komitmen bekerjasama dan kompak dengan pemilik lahan.
Komitmen kerjasama tersebut, tidak selamanya dipenuhi dan direalisasikan pihak perusahaan, malah dilanggar. Sebagaimana diperlihatkan PT.Khaleda Agro Prima (KHAM) dan P.T Sawit Prima Sakti (SPS) yang kini sudah berganti nama menjadi PT.Maju Kalimantan Hadapan (MKH) dan PT- Sawit Prima Sakti (SPS).
Ke dua perusahaan dimaksud, mengelola perkebunan kelapa sawit berlokasi satu hamparan di dua Desa yaitu; Desa Sedulang dan Desa Puan Cepak, Kecamatan Mara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim) yang salah satu komitmen yang tertuang dalam nota perjanjian dengan para pemilik lahan adalah bentuk kemitraan plasma sejak 2007 lalu.
Plasma adalah perkebunan rakyat yang dalam pengembangannya di integrasikan dengan Perusahaan Besar Swasta (PBS) dan Perfomance Based Navigation (PBN). Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 tahun 2007, PBS dan PBN diwajibkan membangun kebun plasma seluas 20 % dari total konsesi lahan.
Kemitraan inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dan perusahaan sebagai inti.
Setiap pihak dalam bentuk kemitraan ini menyepakati berbagai hal (Hak dan Kewajiban) terkait dengan pelaksanaan kerja sama.
Di area dua desa tersebut, PT. MKH dan PT. SPS mulai penanaman sawit pada 2007 dan panen perdana 2010. Panen raya pada 2013 silam, namun masyarakat Desa Puan Cepak belum mendapatkan plasma, sedangkan Desa tetangganya, Desa Sedulang sudah terialisasi mendapatkan haknya, hal inilah yang disesalkan pemilik lawan.
Untuk itu, masyarakat Desa Puan Cepak menuntut haknya, karena itu plasma belum terialisasi sampai sekarang dengan luas lahan Hak Guna Usaha (HGU) kurang lebih 10.000 Ha, dimana pihak perusahaan berkewajiban harus memberikan plasma kepada masyarakat seluas 2000 Ha.
Menurut salah satu sumber yang merahasiakan jati dirinya ke awak media jurnalsepernas.id, pihaknya menuntut ganti rugi sebesar Rp 280 Milyar (M) yang selama ini belum terpenuhi.
Sampai sekarang masyarakat sangat dirugikan, karena sejak 2013 sampai 2023 belum ada realisasi mendapatkan haknya. “Kami sangat dirugikan dalam hal ini pak,” ucap singkat.
Sumber berharap, agar pihak perusahaan bertanggung jawab dalam hal ini sebelum bertindak. “Kami akan melaporkan hal ini kepada semua instansi terkait seperti; Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Kementerian Pertanian (Kementan) di Jakarta, Ombustman-RI) di Jakarta, (Komnas HAM-RI) di Jakarta, dan (Mabes Polri) di Jakarta, agar segera melakukan tindakan pemeriksaan, karena diduga ada rekayasa dalam administrasi, pencemaran lingkungan, sehingga menimbulkan kerugian Negara,” tegas sumber.
Ketika awak media melakukan konfirmasi ke pihak perusahaan via WhatsApp (WA) Tuan Sri Datu Alex Chen Kooi Chiew tidak dibalas, terkesan yang bersangkutan hanya membaca, sehingga berita ini turun belum ada tanggapan dari pihak perusahaan.
Pewarta: Rusli
Editor : Loh