Nepal dan September Hitam Indonesia, Saatnya Berbenah

Oleh: Farkhan Evendi Penulis: Ketua Umum Bintang Muda Indonesia
NEPAL sedang menghadapi krisis politik terparah dalam beberapa dekade, ditandai oleh protes massal Generasi Z yang meletus pada awal September 2025.
Dikenal sebagai “Gen Z Protests,” gerakan ini dipicu oleh larangan pemerintah terhadap 26 platform media sosial pada 4 September, yang dianggap sebagai upaya membungkam kritik terhadap korupsi dan nepotisme elite penguasa.
Demonstrasi awalnya damai, menggunakan simbol budaya pop seperti bendera Jolly Roger dari One Piece, namun berubah menjadi kekerasan setelah polisi secara represif menghadapi mereka. Akibatnya, setidaknya 30 orang tewas, termasuk pelajar dan mahasiswa, ratusan luka, dan kerusakan meluas.
Gedung parlemen (Singha Durbar), Mahkamah Agung, serta kediaman pejabat seperti Perdana Menteri KP Sharma Oli dibakar.
Oli mengundurkan diri pada 9 September, dan tentara Nepal mengambil alih jalanan Kathmandu, memberlakukan jam malam hingga 11 September. Bandara Tribhuvan ditutup sementara, perdagangan perbatasan dengan India terhenti, dan sekitar 900 tahanan kabur dari penjara, meskipun banyak yang sudah kembali ditangkap.
Gelombang protes ini adalah letupan kontradiksi struktural Nepal yang berlangsung panjang. Dengan PDB per kapita hanya $1.300 (2024), Nepal bergantung pada remitansi pekerja migran (25% PDB), sementara kelas pekerja dan pemuda menghadapi pengangguran tinggi (20,8% untuk usia 15-24 tahun) dan kemiskinan (18,7% populasi).
Elite politik, melalui koalisi rapuh Nepali Congress dan Partai Komunis Nepal (UML), menguasai sumber daya melalui korupsi, sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat 108/180 di Indeks Persepsi Korupsi 2024.
Kampanye βNepo Kidsβ di media sosial menyoroti gaya hidup mewah anak pejabat, kontras dengan penderitaan kelas bawah urban.
Larangan media sosial memicu kemarahan Gen Z, yang melihatnya sebagai upaya elite mempertahankan hegemoni. Protes ini adalah pemberontakan kelas terhadap akumulasi kapital oleh elite, diperparah oleh ketidakstabilan politik (14 pemerintahan dalam 16 tahun).
Prospek ke depan bergantung pada pemerintahan transisi dan reformasi anti-korupsi, tetapi risiko kudeta militer atau kebangkitan monarki (seperti protes Maret 2025) tetap mengintai jika elite gagal merespons.
Gelombang Protes Indonesia dan September Hitam
Di negara kita sendiri, Indonesia menghadapi krisis demokrasi terbesar sejak Reformasi 1998, dengan protes massal yang dimulai pada 25 Agustus 2025, melibatkan puluhan ribu orang di lebih dari 50 kota, termasuk Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Makassar.
Dipicu oleh tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan 10 kali upah minimum Jakarta di tengah inflasi 5-7% dan pemotongan anggaran sosial, demonstrasi ini menyatukan mahasiswa, buruh, sopir ojek online (ojol), dan kelompok perempuan.
Demonstrasi itu membawa 25 tuntutan (yang dikenal dengan 17+8), yang terbagi menjadi 17 jangka pendek (misalnya, investigasi kematian demonstran, pencabutan revisi UU TNI, dan reformasi polisi) dan 8 jangka panjang (termasuk penyelesaian konflik Papua, investigasi aset ilegal pejabat, dan reformasi ekonomi untuk buruh).
Protes berubah menjadi kerusuhan setelah polisi menggunakan gas air mata, peluru karet, dan dengan cara-cara brutal hingga menyebabkan 10 kematian, termasuk sopir ojol Affan Kurniawan yang ditabrak panser polisi pada 28 Agustus.
Sekitar 3.000 demonstran ditahan, dan 20 aktivis dikabarkan hilang. Gedung DPRD di Cirebon dan Pekalongan dibakar, halte TransJakarta hancur, dan IHSG anjlok 2,27%, dengan rupiah melemah ke Rp16.475 per dolar AS.
Protes ini adalah perlawanan kelas pekerja urban (ojol, buruh, mahasiswa) terhadap elite politik-ekonomi yang menguasai sumber daya. Indonesia, dengan PDB per kapita $5.300 (2024), menghadapi ketimpangan parah: 10 juta Gen Z menganggur, sementara tunjangan DPR mencapai Rp1,6 triliun untuk 2025.
Kekerasan aparat dengan pola sistematis menurut KontraS adalah upaya negara melindungi kepentingan elite. Kampanye βNepo Kidsβ di TikTok menyoroti nepotisme, mirip Nepal, sementara simbol Jolly Roger mencerminkan pengaruh budaya pop global.
Respons pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan kurang memuaskan: Presiden Prabowo Subianto memang memangkas tunjangan DPR pada 31 Agustus dan berjanji menyelidiki kematian Affan, tetapi label βmakarβ untuk demonstran memicu kemarahan lebih lanjut. Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat dan agamawan, seperti beberapa ulama terkemuka dan tokoh organisasi massa, cenderung meredam kemarahan rakyat dengan menyerukan βkedamaianβ dan βdialog,β alih-alih mengecam kekerasan aparat atau korupsi elite.
Gelombang protes ini membangkitkan memori βSeptember Hitam,β istilah yang lekat dengan sejarah kelam Indonesia dari tragedi 1965, tragedi Tanjung Priok 1984, Semanggi II 1998, pembunuhan Munir 2004.
Kematian Affan dan pelajar di Yogyakarta mengingatkan pada represi Orde Baru, memperkuat narasi bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh. Tagar #IndonesiaGelap dan #ResetIndonesia mencerminkan trauma kolektif dan keinginan untuk perubahan sistemik.
Saatnya Indonesia Berbenah
Indonesia kini berdiri di persimpangan sejarah, dengan luka protes Agustus 2025 masih membekas. Kematian Affan, seorang ojol yang hanya mencari keadilan, adalah simbol penderitaan kelas pekerja yang terpinggirkan. Tangisan ibunya di media sosial, jerit pelajar yang dipukuli di Yogyakarta, dan wajah-wajah Gen Z yang memimpikan βIndonesia Emasβ namun terjebak kemiskinan adalah cermin kegagalan kolektif kita.
Tagar #IndonesiaGelap bukan sekadar slogan, melainkan gambaran demokrasi yang meredup di bawah korupsi, nepotisme, dan kekerasan aparat. “September Hitamβ kembali menghantui, mengingatkan kita pada sejarah represi yang belum sembuh.
Namun, di tengah duka, ada harapan: solidaritas lintas kota, diaspora yang mengirim bantuan, dan keberanian Gen Z yang menolak bungkam. Meski begitu, gelombang protes ini, betapapun besar, akan kurang berdampak tanpa soliditas dan kepemimpinan organisasi yang jelas.
Demonstrasi yang terfragmentasiβantara mahasiswa, buruh, dan ojolβrentan dieksploitasi oleh elite atau redam oleh kekerasan. Memang, Sebagian mampu menunjukkan koordinasi nasional, tetapi tanpa struktur organisasi yang kuat, seperti serikat buruh yang inklusif atau aliansi lintas-kelompok, gerakan ini berisiko kehilangan arah.
Kepemimpinan yang visioner diperlukan untuk menjaga momentum, mendorong dialog dengan pemerintah, dan memastikan tuntutan 17+8 tidak hanya menjadi seruan, tetapi terwujud dalam reformasi nyata.
Terakhir, ini saatnya Indonesia berbenah. Pejabat public harus benar-benar berlaku dalam mewujudkan kepentingan public. Partai politik jangan hanya focus urusan perebutan kekuasaan tapi kembali dekat dengan rakyat agar menjadi solusi bagi problem kerakyatan.
Seluruh elemen bangsa kembali menyadari bahwa ada persoalan serius yang dialami bangsa kita sehingga butuh suatu perubahan yang mendasar, agar kehidupan berbangsa menjadi sehat dan berkualitas, dengan keadilan yang terjada, kesenjangan menyempit, hukum yang tegak tanpa pandang bulu. Hanya dengan itu, visi Indonesia Emas 1945, akan bisa terwujud. “Wa Allahu a’lam bisshowab”.*