Siti Hajar Wanita Shaleha
Oleh: La Ode Hazirun
Penulis Ketum Sepernas. Disadur dari Kisah Hikmat Nabi Ibrahim AS
Mengapa suaminya meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih kecil di padang pasir yang tak ada siapa pun dan tidak ada apa pun? Ia hanya menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya putra.
Hajar mengejar Ibrahim AS, suaminya, dan berteriak, “Mengapa engkau tega meninggalkan kami di sini, bagaimana kami bisa bertahan hidup?”
Ibrahim AS terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh membasahi pipinya. Perasaannya terjepit antara pengabdian dan pembiaran.
Hajar masih terus mengejar sambil terus menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit. “Wahai suamiku, ayahanda Ismail, apakah ini perintah Tuhanmu?”
Kali ini Ibrahim AS, sang Khalilulloh, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar.
Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim AS. Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seolah berhenti mendesah.
Pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semuanya terkesiap. Ibrahim AS membalik tegas, dan berkata, “Iya, ini perintah Tuhanku!”
Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan semua malaikat, serta menggusarkan butir pasir dan angin. “Jika ini perintah Tuhanmu, pergilah wahai suamiku. Tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir, Allah akan menjaga kami.”
Ibrahim AS pun beranjak pergi.
Dilema itu sirna sudah. Ini sebuah pengabdian, atas nama perintah Allah, bukan pembiaran.
Itulah IKHLAS.
Ikhlas adalah wujud sebuah keyakinan mutlak, pada Sang Maha Mutlak.
Ikhlas adalah kepasrahan, bukan mengalah apalagi menyerah kalah.
Ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup untuk berlari, mampu untuk melawan dan kuat untuk mengejar, namun engkau memilih untuk patuh dan tunduk.
Ikhlas adalah sebuah kekuatan untuk menundukkan diri sendiri dan semua yang engkau cintai.
Ikhlas adalah memilih jalan-Nya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain.
Ikhlas bukan lari dari kenyataan. Ikhlas bukan karena terpaksa. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengkalkulasi hasil akhir.
Ikhlas tak pernah berhitung, tak pernah pula menepuk dada.
Ikhlas itu tangga menuju Allah.
Mendengar perintah-Nya, menaati-Nya.
Ikhlas adalah ikhlas itu sendiri. Murni tanpa embel-embel kepamrihan apapun. Suci bersih 100 persen, hanya karena Allah dan mengikuti kehendak Allah, tidak yang lain.
IKHLAS ADALAH KARUNIA ALLAH YANG DIBERIKAN ALLAH KEPADA HAMBA-HAMBANYA YANG DICINTAINYA.
Setelah ditinggal suaminya, Ibrahim, Hajar mengendong putranya Ismail. Sambil lapar dan haus, Hajar terduduk setelah perjuangannya mencari air dari Shafa ke Marwa, dari Marwa ke Shafa sampai 7 kaki. Sementara itu kaki Ismail mengepak-ngepak ke pasir dan keluarlah air, air zamzam, dan disitulah Hajar dan Ismail hidup selama belasan tahun.
Setelah lsmail remaja datanglah Ibrahim dengan perintah Allah untuk menyembelih Ismail anak semata wayangnya yang sangat dicintainya, yang lama dia harapkan, yang dikaruniai Allah setelah ia berumur 100 tahun, anak yang sangat sholeh.
Ibrahim dan Ismail, ikhlas, patuh dan sabar akan perintah Allah. Ketika Ismail sudah dibaringkan dan siap disembelih, ternyata Allah SWT mengganti Ismail dengan domba yang besar.
Sekarang, setiap kita adalah IBRAHIM dan setiap IBRAHIM punya ISMAIL.
Ismailmu mungkin HARTAMU.
Ismailmu mungkin JABATANMU.
Ismailmu mungkin GELARMU.
Ismailmu mungkin EGOMU.
Ismailmu adalah sesuatu yang kau SAYANGI dan kau PERTAHANKAN di dunia ini.
Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa kepemilikan terhadap Ismail. Karena hakekatnya semua adalah milik Allah.
Semoga Allah SWT menganugrahkan keshalihan dan keikhlasan Nabi Ibrahim serta keikhlasan dan kesabaran Nabi Ismail kepada kita semua. Karena dihadapan Allah hanya ketakwaan kita yang diterima-Nya.***