𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Anak yang Tak Diharapkan Jadi Lentera

DI sebuah dusun yang terpencil, di mana garis kemiskinan seolah abadi mengikat, tinggallah Pak Rodi dan Bu Sumarni. Tiga nyawa telah mereka tanggung, dan setiap helaan napas terasa berat di tengah himpitan ekonomi. Ketika takdir kembali menitipkan benih kehidupan di rahim Bu Sumarni, bukan sukacita yang menyeruak, melainkan ratapan pilu yang membelah sunyi malam.

“Ya Allah… apa lagi yang bisa kita suapkan pada mereka nanti? Beras di dapur saja sudah seringkali menjadi hutang yang menggunung di warung Mak Ijah,” rintih Bu Sumarni, tangannya mendekap erat perutnya yang mulai membuncit, sebuah penanda datangnya malaikat kecil, yang justru terasa seperti petir di siang bolong.

Lelaki yang menjadi nahkoda rumah tangga itu, Pak Rodi, tak mampu menyembunyikan guratan keputusasaan di wajahnya yang keriput.

“Seharusnya… seharusnya kita sudah cukup. Anak ini… hadir di saat yang paling kelam.” Kata-kata itu bagai hembusan angin dingin yang membekukan kehangatan keluarga.

Hari-hari berlalu dalam kegelapan hati. Kandungan Bu Sumarni semakin membesar, namun tak ada senandung bahagia, tak ada elusan sayang seperti pada kehamilan sebelumnya. Bahkan saat bayi itu akhirnya lahir, tangisnya memecah keheningan tanpa disambut senyum tulus. Ia diberi nama Nino, sebuah nama yang terucap tanpa upacara, tanpa getar sukacita, seolah kehadirannya adalah bisikan duka di tengah malam.

Nino tumbuh dalam bayang-bayang ketidakpedulian. Ia belajar tentang kesunyian sejak dini. Matanya seringkali menatap kosong pada interaksi hangat saudara-saudaranya yang dulu dimanja dan dibelai. Ia memendam rasa asing di rumah yang seharusnya menjadi pelabuhan hatinya, belajar untuk tidak merengek meski jiwanya meradang.

Namun, Sang Pencipta memiliki skenario yang jauh melampaui keterbatasan pandangan manusia.

Ketika usia Nino menginjak tujuh tahun, kemarau ganas mencengkeram desa. Tanah retak menganga, sawah-sawah mengering bagai harapan yang pupus. Keluarga Pak Rodi semakin terjerembap dalam jurang kemiskinan. Di tengah keputusasaan itu, tanpa sengaja, Nino mengisi hari-harinya dengan mengumpulkan sisa-sisa bambu. Jemari kecilnya yang lincah meniru gerakan para tetua, menciptakan anyaman-anyaman sederhana. Dengan polos, ia menjajakan hasil karyanya di tepi jalan desa yang berdebu.

Awalnya, hanya lirikan kasihan yang ia dapat. Namun, takdir berbicara lain. Seorang pelancong dari kota, yang singgah untuk sekadar melepas dahaga, terpukau oleh keunikan kerajinan Nino. Ia membeli semuanya, bahkan memesan lebih banyak dan menawarkan bantuan untuk menjualnya secara daring, menjangkau dunia yang lebih luas.

Dalam hitungan bulan, keajaiban merayap masuk ke gubuk Pak Rodi. Uang, yang dulu hanya menjadi angan-angan, kini mengalir deras. Kehidupan mereka perlahan bangkit dari keterpurukan. Tatapan tak percaya terpancar dari mata para tetangga, menyaksikan bagaimana bocah bungsu yang kehadirannya dulu dianggap musibah, kini menjadi mata air rezeki bagi keluarganya.

Malam itu, di bawah rembulan yang sayu, Pak Rodi tak kuasa menahan air matanya saat melihat Nino tertidur pulas di atas tikar lusuh. Ia duduk bersimpuh di sisi anaknya, tangan kasarnya menyentuh lembut rambut legam Nino.

“Maafkan Ayah, Nak… Kau… kau bukanlah anak yang datang di waktu yang salah. Kaulah… anugerah tersembunyi yang Tuhan kirimkan saat mata hati kami dibutakan oleh ketakutan,” bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan isak.

Nino hanya menggeliat kecil dalam tidurnya, seulas senyum tipis menghiasi bibirnyaβ€”entah ia mendengar pengakuan pilu itu, atau sekadar berlayar dalam mimpi indah, namun malam itu, beban berat yang selama ini menghimpit dada keluarganya terasa perlahan menguap.

Kisah tentang keajaiban tangan Nino menyebar bagai embun pagi yang menyegarkan jiwa-jiwa yang dahaga akan harapan. Sebuah stasiun televisi lokal tertarik untuk mengabadikan kisah pilu yang berujung manis itu. Nino, dengan kepolosan yang menyentuh hati, diwawancarai di depan rumahnya yang kini mulai tampak lebih terawat.

“Saya… saya hanya ingin membantu Ayah dan Ibu… supaya mereka tidak terlalu lelah memikirkan hutang,” ucapnya dengan senyum malu-malu yang justru memancarkan ketulusan yang mendalam.

Tayangan itu viral, menyentuh jutaan hati. Pesanan kerajinan bambu Nino membanjiri dari berbagai penjuru negeri. Orang-orang berbondong-bondong datang ke rumah sederhana itu, membawa harapan baru bagi desa. Pak Rodi bahkan mulai melibatkan para tetangga untuk membantu memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Namun, ironi kehidupan kembali menorehkan luka. Ketika badai kesulitan mulai mereda, riak kecemburuan justru menggerogoti keharmonisan keluarga. Kakak-kakak Ninoβ€”Reza, Intan, dan Yuliβ€”merasakan dinginnya pengabaian. Dulu, merekalah yang menjadi kebanggaan, kini sorot mata semua orang tertuju pada Nino, sang anak bungsu yang dulu tak diharapkan.

“Sekarang… semuanya hanya tentang Nino. Nino… dan Nino terus,” desis Intan dengan nada sinis saat makan malam, mengiris kehangatan yang seharusnya tercipta.

Reza menimpali dengan nada getir, “Dia hanya sedang beruntung saja. Kita juga bekerja keras, tapi seolah tak pernah dianggap ada.”

Suasana rumah yang dulu suram kini berubah menjadi tegang. Nino, yang memiliki kepekaan hati yang luar biasa, merasakan perubahan itu. Namun, ia memilih membungkam diri. Tujuannya hanya satu: membantu, bukan menjadi sumber perpecahan yang lebih dalam.

Suatu malam, Nino memberanikan diri mendekati Bu Sumarni yang sedang melipat pakaian di ruang tengah yang remang.

“Ibu… kalau Nino pergi saja… apakah semuanya akan menjadi tenang?” tanyanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar, menyimpan kepedihan yang teramat dalam.

Bu Sumarni terperanjat. Ia menatap lekat mata polos anaknya. Di sana, terpantul jelas luka yang dulu pernah ia torehkanβ€”rasa tidak diinginkan yang membekas begitu perih.

Air mata Bu Sumarni tumpah tanpa bisa dibendung. Ia menarik Nino ke dalam pelukannya yang erat, pelukan pertama yang tulus sejak bocah itu dilahirkan.

“Maafkan Ibu, Nak… Maafkan Ibu yang bodoh. Kau tidak boleh pergi kemana-mana. Kau… kau adalah rumah kami yang sebenarnya, Nak.”

Keesokan harinya, Pak Rodi dan Bu Sumarni mengumpulkan ketiga anak mereka yang lain. Mereka duduk bersama, bukan sebagai orang tua yang menghakimi, melainkan sebagai sebuah keluarga yang pernah hampir kehilangan arah karena lupa akan anugerah yang tersembunyi. Mereka berbicara dari hati ke hati, melunturkan ego dan membuka ruang untuk saling memahami.

Sejak saat itu, keajaiban kembali terjadi. Reza mulai menyumbangkan ide-ide desain baru untuk kerajinan Nino. Intan, dengan keahliannya, mengelola media sosial untuk memperluas jangkauan pasar. Yuli, dengan ketelitiannya, mengatur setiap pengiriman. Usaha kecil itu bertransformasi menjadi sebuah bisnis keluarga yang solid, lahir dari tangan seorang anak yang kehadirannya dulu dianggap sebagai kutukan, namun justru menjadi berkat yang tak ternilai.

Nino tetaplah anak desa yang sederhana. Namun, di mata kedua orang tuanya, kini ia adalah lentera yang menerangi setiap sudut rumah kecil merekaβ€”dan yang terpenting, ia adalah perekat yang menyatukan kembali hati yang dulu sempat retak, membuktikan bahwa kasih sayang dan penerimaan adalah rezeki yang paling berharga.***

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles