Perpisahan yang Menyakitkan

Cerpen Karya: Putri
Editor : Loh
HUJAN turun deras sore itu, membasahi atap tua Panti Asuhan Pelita Hati. Di salah satu kamar kecil yang lembap, dua anak duduk bersebelahan di ranjang kayu reyot. Mereka adalah Aisyah dan Rakaβanak-anak yatim piatu yang sudah tumbuh bersama di panti sejak usia tiga tahun. Kini, di usia sembilan tahun, mereka lebih dari sekadar sahabat. Mereka adalah keluarga satu-satunya yang tersisa.
Setiap malam, Aisyah akan menenangkan Raka yang takut akan gelap. Dan setiap pagi, Raka akan menyisakan setengah rotinya untuk Aisyah, karena tahu gadis itu sering kelaparan tapi tak pernah mengeluh. Dunia kecil mereka mungkin sempit dan keras, tapi mereka saling mengisi kekosongan di hati.
Namun, suatu pagi yang mendung, Kepala Panti memanggil Aisyah ke ruang tamu. Ada pasangan suami istri di sana, tersenyum lembut, membawa harapan dan masa depan yang lebih baik. Mereka ingin mengadopsi Aisyah. Ia terpaku. Matanya mencari Raka, yang sedang menggambar diam-diam di sudut aula.
Malamnya, Aisyah menangis. Ia tak pernah menginginkan keluarga baru jika itu berarti meninggalkan Raka. Tapi Kepala Panti berkata ini kesempatan langkaβbisa sekolah, punya rumah, dan masa depan. Raka hanya menatap langit-langit sambil menggigit bibir. Ia tak berkata apa pun, hanya memeluk Aisyah erat seolah ingin menahan waktu.
Hari perpisahan datang. Raka berdiri kaku di depan gerbang panti. Matanya sembab. Aisyah menyalami semua anak-anak lain, lalu berlari ke arah Raka.
βAku janji akan kirim surat, akan kembali suatu hari nanti,β ucap Aisyah terbata, menggenggam tangan kecil sahabatnya.
Raka mengangguk, air matanya jatuh satu-satu. βKalau suatu saat aku juga punya keluargaβ¦ aku harap mereka membiarkan aku mencarimu.β
Mobil itu perlahan menjauh. Aisyah menoleh dari jendela, melihat Raka mengejar beberapa langkah, lalu berhenti, menangis dalam diam.
Hari-hari berikutnya terasa kosong. Raka duduk sendiri saat makan, tidur memeluk boneka tua milik Aisyah, dan menulis surat-surat yang tak pernah tahu harus dikirim ke mana.
Waktu berlalu, tapi di hati keduanya, luka itu tetap ada. Karena kadang, kehilangan yang paling menyakitkan bukanlah karena kematianβtapi karena perpisahan yang tak diinginkan.
β
Tahun demi tahun berganti. Raka kini berusia tujuh belas tahun. Ia tetap tinggal di panti asuhan yang kini makin sepi dan usang. Banyak anak telah datang dan pergi, tapi tak satu pun mampu mengisi tempat yang pernah dihuni Aisyah di hatinya. Surat-surat yang ia tulis setiap ulang tahun Aisyahβia simpan rapi dalam kotak kayu bekas mainan mereka dulu. Ia menulis meski tak pernah ada alamat untuk mengirimnya.
Setiap kali ada mobil berhenti di depan panti, Raka berlari keluar, berharap melihat wajah sahabat kecilnya. Tapi harapan itu selalu pupus, digantikan senyum getir dan langkah gontai kembali ke kamarnya.
Sementara itu, Aisyah tumbuh di keluarga barunya. Orang tua angkatnya baik dan penuh kasih, tapi dalam kehangatan rumah mewah dan sekolah elit, ia merasa ada bagian dirinya yang selalu hilang. Ia pernah bertanya pada orang tuanya tentang Rakaβtentang kemungkinan mencarinya. Tapi mereka mengalihkan pembicaraan. βMasa lalu itu menyakitkan, Nak. Lebih baik fokus pada masa depan,β kata ibunya pelan.
Sampai suatu hari, saat ulang tahunnya ke-18, Aisyah nekat kembali ke kota kecil tempat panti itu berada. Hatinya berdebar, penuh harap dan rindu. Tapi saat ia tiba di sana, yang tersisa hanya reruntuhan bangunan. Panti itu sudah lama ditutup karena kekurangan dana. Anak-anak dipindah, catatan hilang, dan tak ada satu pun yang tahu ke mana penghuni lamanya pergi.
Ia duduk di depan puing-puing bekas kamar yang dulu ia tinggali. Air matanya jatuh deras, membawa kembali semua kenanganβsuara tawa Raka, pelukannya, dan janji yang ia buat dulu. βAku janji akan kembaliβ¦β
Sementara itu, Rakaβyang sekarang bekerja sebagai buruh harian di kota lainβberdiri di halte, menatap anak-anak bermain sambil menggenggam sebuah kertas lusuh: surat terakhir yang ia tulis untuk Aisyah. Tangannya gemetar saat membacanya kembali.
βAisyah, kalau kamu baca iniβ¦ aku harap kamu bahagia. Meski dunia tak ijinkan kita tumbuh bersama, kamu tetap sahabatku yang paling sejati. Jangan lupakan aku, meski aku mulai lupa seperti apa suaramu.β
Dunia akhirnya membawa mereka ke dua arah yang tak pernah lagi bersinggungan. Dua anak yatim piatu yang dulu saling menggenggam dalam gelap, kini hidup terpisah oleh takdirβmasing-masing membawa luka yang tak pernah sembuh.
Dan begitulah, beberapa perpisahan tidak pernah memiliki reuni. Hanya kenangan yang tinggal, menggema dalam diam, selama-lamanya.
β
Masa kecil Aisyah dan Raka di Panti Asuhan Pelita Hati bukanlah masa kecil yang indah bagi kebanyakan anak. Tapi di balik dinding retak, genteng bocor, dan kasur tipis beraroma apek, mereka membangun dunia kecil yang penuh kehangatanβkarena mereka saling punya.
Aisyah kecil sering menangis diam-diam setiap malam. Ia tak ingat wajah ibunya, hanya suara perempuan menyanyikan lagu nina bobo yang tak selesai. Raka menemukannya pertama kali bersembunyi di balik lemari tua, memeluk boneka usang yang tinggal setengah isi.
βAku juga nggak punya ibu,β kata Raka pelan waktu itu, duduk di sebelahnya. βTapi kita bisa jadi adik-kakak, ya?β
Sejak hari itu, mereka tak terpisahkan.
Raka yang tomboy dan ceroboh sering kena marah Bu Wati, pengurus panti. Ia pernah memecahkan piring dapur karena ingin mencuri sedikit nasi lebih untuk Aisyah. Pernah juga panjat pohon jambu tinggi dan jatuh hanya karena Aisyah bilang ingin sekali makan jambu seperti teman-teman sekolah.
Sementara Aisyah, anak yang lembut dan tenang, punya cara sendiri menunjukkan kasih. Ia menjahitkan robekan baju Raka pakai benang bekas, menyembunyikan obat luka di bawah bantal untuk mengobati kaki Raka yang sering berdarah. Setiap malam, ia membacakan buku cerita robek, membayangkan dunia yang lebih indahβtempat mereka bisa punya rumah sendiri, dapur sendiri, dan pohon jambu yang tak harus dipanjat sembunyi-sembunyi.
Pernah suatu malam hujan besar, atap bocor di atas ranjang mereka. Air menetes langsung ke kepala Aisyah. Raka bangun, menyeret kasur kecil mereka ke pojok ruangan, lalu menutupi Aisyah dengan tubuhnya sendiri agar ia tetap hangat.
βKalau besok aku mati, kamu jangan sedih ya,β kata Raka waktu itu, separuh bercanda.
Aisyah menangis pelan dan menjawab, βKalau kamu mati, aku ikut mati.β
Mereka terlalu kecil untuk memahami betapa dalamnya arti kesetiaan, tapi mereka menjalaninya dengan tulus. Pagi, siang, malamβselalu berdua. Saat anak-anak lain saling berebut perhatian atau makanan, mereka saling berbagi bahkan ketika tak ada apa-apa.
Dan mungkin, karena cinta sebesar itu ditanam di tanah penuh luka, perpisahan mereka menjadi luka yang tak bisa dijahit kembali.
Kini, saat mereka tak lagi bersama, semua kenangan kecil itu menjadi harta paling berharga. Terkubur dalam ingatan, dan hidup kembali dalam tangis malam hariβsendiri, di tempat yang berbeda, di dunia yang tak lagi punya ruang untuk mereka bersama.***