12 Kuliner Namanya Jorok, Rasanya Enak
Surakarta, Jurnalsepernas.id – JAWA Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah gudangnya kuliner. Setiap kota dan kabupaten memiliki makanan tradisional yang khas.
Uniknya, ada beberapa kuliner atau makanan memiliki nama yang cukup unik, bahkan boleh dibilang jorok. Ada makanan bernama kontol kejepit, jembut kecabut, turuk bintul, rondo royal, hingga peli kipu.
Tentunya, ada sebab musabab, sehingga makanan ini justru memiliki nama yang jorok.
“Wong Jawa senantiasa tidak memperumit dalam perkara penamaan barang. Acap terinspirasi dengan apa yang dijumpai di sekitarnya,” terang sejarawan asal Solo, Heri Priyatmoko, beberapa waktu lalu.
Kata dia, orang Jawa memang pada prinsipnya gampang menamakan suatu barang atau makanan dari apa yang pernah dilihatnya.
Lanjut kata Heri, penamaan makanan tersebut, akhirnya disepakati secara kolektif hingga akhirnya dikenal secara turun-temurun dan populer sebagai penamaan umum hingga saat ini.
“Ini kemudian disepakati secara kolektif, dan akhirnya turun-temurun nama itu dipakai (sampai sekarang),” katanya.
Jurnalsepernas. mencoba menelusuri keberadaan makanan dengan nama jorok itu. Setidaknya, ada 12 makanan yang ditemukan, beberapa sudah mulai langka. Berikut daftarnya:
1. Kontol Pesok
Nama kontol pesok jadi julukan di Brebes untuk roti manis yang dibentuk segi empat atau lonjong tebal dengan taburan wijen lalu digoreng kering ini.
Kelamin pria disematkan pada jajanan ini karena bentuknya yang lonjong.
Tekstur jajanan ini lembut dan mudah peyot atau pesok bila ditekan dengan jari. Makanya, orang dulu menamai jajanan ini kontol pesok.
Di daerah lain, kue ini dinamakan bolang-baling atau ada juga yang menyebut janggelut.
2. Jembut Kecabut
Nama kuliner ini sungguh jorok. Namun, minuman yang menyegarkan ini cukup dikenal di Purworejo.
Jembut kecabut merupakan sebuah sebutan bagi es dawet hitam yang berada di kawasan Butuh. Letaknya berada di sebelah timur jembatan Butuh.
Lokasi inilah yang membuat es dawet hitam ini mendapatkan sebutan itu. Masyarakat mengenalnya dengan es dawet Jembatan Butuh (Jembut) Kecamatan Butuh (Kecabut).
3. Turuk Bintul
Nama turuk bintul terdiri kata turuk yang merupakan sebutan kemaluan perempuan dalam bahasa Jawa. Sementara kata ‘bintul’ yang berarti bengkak kecil.
Jajanan ini secara umum berbentuk lonjong dengan ada taburan kacang tolo. Seolah-seolah terdapat bekas bintul atau bengkak kecil. Rasa turuk bintul ini gurih, dan semakin nikmat apalagi ditemui secangkir kopi dan teh hangat.
Turuk bintul terbuat dari ketan dan dicampur dengan kacang tolo. Cara membuatnya pertama merendam ketan dan kacang tolo. Setelah itu rebus santan sampai mendidih.
Lalu ketan yang sudah dicampur dengan kacang tolo dimasukkan. Kemudian dikukus selama kurang lebih 1 jam.
4. Kupat Jembu
Namanya mungkin mengejutkan bagi yang belum pernah mendengarnya: kupat jembut. Makanan ini khas Kota Semarang dan hanya dibikin saat tradisi Syawalan.
Mengapa makanan khas tersebut mendapat nama sedemikian rupa? Rupanya, taoge yang keluar dari ketupat itu menyerupai rambut kemaluan kemudian sehingga warga membuat plesetan dengan sebutan kupat jembut.
Beberapa permukiman di Semarang yang masih melestarikan berbagi kupat jembut saat tradisi Syawalan di antaranya adalah di daerah Jaten, Genuksari, dan juga beberapa di wilayah Pedurungan Tengah.
5. Tai Kucing
Tai kucing atau dalam bahasa Indonesia berarti kotoran kucing ini banyak dikenal di Kota Solo. Camilan khas berbahan utama tepung ketan ini juga dikenal dengan nama widaran manis.
Camilan yang bertabur gula di atasnya ini ternyata memiliki sejarah panjang hingga adanya akulturasi budaya di Kota Solo. Sejarawan asal Solo Heri Priyatmoko menjelaskan, telek atau tai kucing ini sudah ada sejak lebih dari satu abad yang lalu.
“Makanan telek atau tai kucing sudah ada lebih dari satu abad. Sumber yang paling tua yakni dari majalah ‘Sasadara’, majalah bulanan yang diterbitkan Radyapustaka 1901 sudah menulis mengenai tai kucing,” kata Heri saat dihubungi detikJateng, Sabtu (19/2/2022).
6. Bajingan
Mohon maaf, penyebutan kata ‘bajingan’ di sini bukan umpatan atau mengucap istilah kasar dan kotor. Bajingan dalam artikel ini adalah nama panganan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Bajingan terbuat dari bahan baku singkong yang dikupas, dicuci bersih, lalu dipotong-potong ukurannya sesuai selera.
Setelah singkong dikupas, kemudian badek atau nira direbus hingga mendidih. Setelah badek mendidih, kemudian singkong dimasukkan untuk direbus hingga badek menyusut habis. Setelah singkong empuk, barulah diangkat. Rasanya manis.
7. Rondo Royal
Rondo Royal yang lembut manis ini bikin nagih. Foto: Ari Purnomo/detikJateng
Panganan rondo royal asal Jateng ini memang sangat lembut dan manis. Ini membuat siapa yang pernah menikmatinya akan ketagihan.
Bahan utamanya adalah tape singkong, tepung terigu, gula pasir, garam secukupnya. Cara membuatnya, bersihkan tape singkong dari serat-seratnya.
Kemudian bentuk tape bulat-bulat sesuai ukuran yang diinginkan.
Untuk pelapisannya, campur terigu, garam, gula, dan air secukupnya. Aduk hingga merata dan adonan menjadi lumer.
Tape yang dicelup di adonan itu lantas digoreng. Saat sudah matang, rondo royal siap dinikmati.
8. Bol Jaran
Bol jaran terdengar aneh atau bahkan dianggap menjijikkan alias jorok, bahkan berkonotasi pada alat kelamin hewan atau manusia. Bagi yang paham arti dari nama tersebut tentunya akan berpikir bahwa jajanan berwarna merah tersebut bentuknya seperti anus kuda.
Bol jaran terbuat dari tepung ketan, gula pasir, santan, garam, pewarna dan dan pisang secukupnya. Sedangkan isiannya menggunakan kacang hijau kupas, santan, gula pasir, garam dan vanili.
Kue ini populer dengan sebutan lain sebagai kue ku. Karena dicetak bentuk motif kura-kura. Menjadi sajian khas saat imlek dan jadi jajan pasar favorit saat selamatan atau acara istimewa. Warna merah dan bentuk kura-kura melambangkan kesetiaan dan kegembiraan.
9. Peli Kipu
Dalam bahasa Jawa, peli diartikan sebagai alat kelamin laki-laki. Sementara kipu bisa dikatakan sebagai kondisi yang kotor. Jorok banget.
Pemilik salah satu toko oleh-oleh di Solo, Andrianto, mengatakan bahwa makanan tersebut kini lebih dikenal dengan nama mancho.
“Bahan bakunya ialah tepung yang diolah menjadi kue kering berbentuk memanjang. Pada kulitnya ditaburi wijen seperti onde-onde tapi agak legit,” kata Andrianto.
10. Roti Bokong
Roti Bokong di Purbalingga Ini Jadi Simbol Perlawanan Kemapanan Sosial.
Roti yang cukup dikenal di Purbalingga itu memang memiliki bentuk mirip pantat atau bokong. Masyarakat sekitar pun menyebutnya roti bokong.
Tidak banyak yang mengetahui asal muasal penamaan roti yang terbuat dari tepung beras, kacang hijau, dan gula jawa. Namun, nama itu sudah dikenal dari mulut ke mulut dan seolah telah menjadi kesepakatan.
Tampilan roti bokong memang sedikit menipu. Meski sekilas terlihat seperti kue kering, sejatinya roti bokong terasa kenyal. Perpaduan kacang hijau dan gula jawa yang menjadi bahan isian roti seolah lumer di mulut.
11. Kontol Kejepit
Kontol kejepit atau tolpit adalah nama penganan khas Kabupaten Bantul, DIY. Saat ini tolpit juga dikenal dengan nama kue adrem.
Salah satu produsen, Kisminah, mengatakan nama tolpit memang muncul dari cara pembuatannya. Menurutnya, orang zaman dahulu sengaja membentuk tolpit sedemikian rupa untuk menarik perhatian pembeli.
“Jadi harus dijepit kalau tidak dijepit kan kurang menarik cuman kayak kue apem itu. Nah, ini kan cara menariknya harus dijepit dulu terus kelihatan menarik ada bentuknya,” kata Kisminah.
12. Tahu Plekek
Renyah, gurih dan pedas. Tahu plekek khas Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sangat digemari. Bahkan, tidak jarang warga luar kota memesan tahu plekek ini ke produsennya.
Bagi masyarakat Jawa, istilah plekek sering berkonotasi negatif. Nama itu merujuk pada perbuatan mengumbar bagian dalam organ intim wanita.
Kerenyahan tahu ini berasal dari cara pembuatannya. Pada dasarnya, pembuatannya dilakukan dengan membelah tahu dan menekuknya sedemikian rupa sehingga kulit tahu membalik ke bagian dalam.
Tahu plekek ini tanpa campuran pengawet, namun kerenyahan dan rasa krispinya bisa bertahan lama.
Pewarta: Johan Setiawan
Editor : Loh