Sudah Jatuh Tertimpa Tangga ,Itulah Ibarat Nasib Guru Honorer NTT
Oleh: Drs. Yohanes Tafaib Amloki, M.Hum
Penulis: Mantan Guru dan Mantan Kepala Sekolah
SETIAP orang pasti selalu menginginkan, agar hidupnya layak, nyaman serta aman. Berbagai tahapan perjuangan akan ditempuh demi mewujudkan harapan tersebut, Namun kadang tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Beragam tatangan selalu menghadang walau sekuat apapun upaya dan semangat yang disertai berbagai cara, kadang hanyalah isapan jempol belaka disertai sederetan kekecewaan yang ditemui.
Itulah Nasib guru honorer di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ibarat Sudah Katuh Tertimpah Tangga Pula. Setelah sekian tahun lama mengabdi dengan penuh ketulusan, pengorbanan yang sangat luar biasa walau imbalan jasa (gaji) yang didapatkan tidak sebanding dengan dedikasi pengabdian. Hanyalah Rp.150.000 – Rp. 300.000/ bulan yang kadang hingga hitungan 6 bulan baru dibayarkan.
Sungguh nasib guru honorer sangat sangat memprihatikan, sampai-sampai terkadang ada yang sepatunya telah tercabik, kaus kakinya telah keloloran, pakaian dinas gurunya telah kusam, jalan kaki berkilo-kilo pada medan yang tidak bersahabat, sarana prasarana sekolah yang tidak memadai.
Dibarengi lagi dengan berbagai tuntutan dari para pemangku kebijakan berlebel aturan; waktu, administrasi, disiplin, mutu pendidikan selalu ditekankan tanpa mrmpertimbangkan kondisi real dari sang guru. Tuntutan wajib dilaksanakan guru, namun nasibnya tidaklah maksimal diperhatikan.
Hembusan angin segar datang sebagai pemanis bibir bahwa, ada program pengangkatan guru honerer melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Namun lagi-lagi ada apa di sana? Tak semudah dipikirkan.
Jurusnya berbagai persyaratan bermunculan sebagai syarat mutlak yang tidak boleh diganggu gugat. Segumpul lapisan persyaratannya, lagi-lagi Sang Guru harus berjuang dengan segala keterbatasannya yakni; harus mengurus berbagai berkas. Tantangan kondisi geografis, finansial, tenaga, waktu, kemampuan untuk mengakses informasi, mengisi data serta persiapan diri demi mengikuti test, materi test yang sangat sulit, passing grade yang sangat tinggi, jadilah semakin rumit.
Sulit semakin sulit,
susah makin susah,
jatuh kian jatuh
tertendis tangga semakin berulang’ulang. Sungguh malang nasib guru tak seindah pengabdiannya yang tulus nan mulia demi harkat martabat anak bangsa, anak manusia.
Sudah selesaikah perjuangan guru honorer setelah lulus passing grade? Ternyata belum, garis hitam kelam tetap membujur jauh dalam penantian. Ada yang telah lolos passing grade “ketiadaan formasi” sesuai statemen yang sangat-sangat kontradiktif dengan real kondition.
Pada berbagai jenjang pendidikan di Provinsi NTT masih sangat kekurangan tenaga guru. Namun mengapa tidak ada formasi ? Pada tataran ini nasib guru semakin terpojok bersama litani panjang. Lebih tragis dan fatal lagi bagi guru honorer yang lulus P3K tahun 2021, Surat Keputusannya tidak pernah muncul-muncul.
Apakah sedang kandas di puncak Gunung Himalaya ataukah masih dicetak di dasar Samudra Atlantik? Semuanya diam membisu, bungkam rapih serapihnya. Pada siapa dan di mana akan temukan jawabannya?
Jawaban penghiburan adalah sabar, tunggu, sabar dan tunggu, karena sedang diperjuangkan. Siapa yang harus memperjuangkan? Ke mana perjuangan itu harus ditujukan? Ataukah terkendala persoalan anggaran berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pusat?
Sebuah tabir besar terkuak. Seorang srikandi NTT sang senator kawakan anggota Komisi X DPR RI angkat bicara mempertanyakan alasan apa, sehingga ada polemik panjang tentang SK lulusan P3K tahun 2021 belum diterbitkan oleh Pemprov NTT hingga sampai dengan sekarang.
Sang senator dengan tegas meminta pertanggunganjawaban dari Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan dan Kebudayaan NTT tentang DAU sebesar Rp.157 M, di mana telah dikucurkan oleh pusat ke Pemprov NTT, dikhususkan demi pengangkatan guru P3K lulusan tahun 2021 yang lalu.
Anita Jocoba Gah anggota DPR RI tersebut, meminta Kadisdikbud, Linus Lusi untuk segera memasukan rincian penggun