𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Wajah Ibu yang Tak Pernah Kulihat

Cerpen Karya: Putri
Editor : Loh

NAMAKU Arga. Aku tumbuh besar dengan satu lubang kosong dalam hidupku, aku tak pernah melihat wajah ibuku. Ia meninggal saat melahirkanku. Kata orang, ia meninggal dengan senyuman, menggenggam tangan ayahku, dan mengatakan,
“Tolong jaga anak kita baik-baik.” Itu adalah kata-kata terakhirnya.

Sejak kecil, aku sering bertanya, β€œSeperti apa wajah ibu?” Tapi tak ada yang bisa menjawab dengan pasti. Ayah selalu terdiam lama setiap kali aku bertanya. Lalu ia akan mengelus kepalaku dan berkata,
β€œKau akan tahu lewat hatimu, Nak.”

Di rumah kami tak ada foto ibu. Kata ayah, saat rumah lama kami kebakaran beberapa tahun setelah aku lahir, semua kenangan itu ikut hangus. Yang tersisa hanya satu benda kecil, sehelai syal wol berwarna biru laut, yang katanya rajutan tangan ibu saat ia mengandungku. Aku menyimpannya di bawah bantal, berharap bisa memeluk kenangan yang tak pernah kumiliki.

Setiap “Hari Ibu” di sekolah, teman-temanku datang membawa bunga untuk ibunya, menggambar wajah mereka di kartu ucapan. Aku hanya duduk diam. Guruku pernah bertanya,
β€œArga, kenapa kamu tidak menggambar ibumu?” Aku hanya menunduk dan menjawab pelan, β€œAku tidak tahu harus menggambar siapa…”

Malam-malam sunyi adalah waktu yang paling berat. Aku sering bermimpi berjalan di padang rumput luas, di mana seorang wanita berdiri membelakangiku. Aku berlari mengejarnya, memanggil, “Ibu!” Tapi saat ia menoleh, wajahnya selalu kabur. Aku terbangun dengan air mata dan dada sesak, berdoa agar mimpi berikutnya wajahnya lebih jelas.

Saat aku berusia 15 tahun, ayah memberiku sebuah surat tua.
“Ibu menulis ini sebelum kamu lahir,” katanya sambil menahan air mata. Di dalamnya tertulis:

**Untuk anakku yang belum pernah kutatap**
“Maafkan ibu karena tak bisa bersamamu lebih lama. Tapi ketahuilah, dari detik pertama kamu ada dalam rahim ini, ibu mencintaimu lebih dari apapun di dunia. Wajahmu tak pernah ibu lihat, tapi namamu, senyummu, dan langkah-langkah kecilmu, akan selalu hidup dalam hati ibu, selamanya.”

Hari itu aku menangis sejadi-jadinya. Bukan karena kehilangan, tapi karena akhirnya aku tahu, aku pernah dicintai dengan sangat dalam, meski hanya sebentar.

Kini, setiap kali aku menatap langit malam, aku percaya ada sepasang mata yang mengawasiku penuh cinta dari kejauhan. Aku mungkin tak pernah melihat wajah ibu, tapi aku telah merasakannya dalam setiap hembusan angin, setiap detak jantung, dan setiap pelukan ayah yang menggantikan dua tangan yang tak sempat memelukku.
Karena cinta ibu… tak pernah benar-benar pergi.

Tahun-tahun berlalu, dan aku tumbuh menjadi seorang pemuda. Ayah sudah mulai menua, rambutnya memutih dan langkahnya tak lagi sekuat dulu. Tapi ia tetap menjadi satu-satunya jangkar dalam hidupku, penuntun yang setia dalam sunyi yang tak pernah benar-benar hilang.

Suatu hari, aku diterima di universitas di kota yang jauh kampung halamanku. Saat hari keberangkatan tiba, ayah memberiku pelukan yang berbedaβ€”erat, hangat, tapi terasa seperti perpisahan yang menyakitkan.
β€œJadilah laki-laki yang membuat ibumu bangga,” bisiknya.

Kehidupan di kota membawa banyak perubahan. Aku mulai terbiasa dengan kesibukan, tugas kuliah, dan teman-teman baru. Tapi setiap malam, syal biru itu tetap kupeluk seperti anak kecil memeluk selimut lamanya. Aku belum bisa lepas dari kehilangan yang bahkan tak pernah kukenal secara nyata.

Pada suatu senja yang kelabu, aku mampir ke sebuah pameran lukisan tua di pinggiran kota. Saat melangkah masuk, aku membeku di depan satu lukisan potret seorang perempuan muda dengan mata lembut dan senyum tenang, mengenakan syal biru persis seperti milikku. Hatiku bergetar.

Pemilik galeri berkata,
β€œItu lukisan lama… dibuat oleh seorang mahasiswa seni dua dekade lalu. Ia melukis pacarnya yang sedang hamil,” jelas pemilik galeri.

Namanya tertera di bawah lukisan: *Ratna Sari Dewi.*
“Itu nama ibuku,” cetus dalam hati Arga.

Tiba-tiba air mataku luruh mengalir tanpa bisa kutahan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menatap wajah ibu meski hanya goresan cat di atas kanvas, bagiku itu adalah mukjizat. Aku menyentuh permukaan lukisan itu, seolah bisa merasakan sentuhan tangan yang tak pernah kujamah.

Hari itu aku pulang dengan hati penuh. Aku menulis surat kepada ibu, dan menguburnya bersama syal biru di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah kami. Di situ, aku berbisik:

β€œIbu… akhirnya aku melihatmu. Dan aku akan terus hidup agar dunia tahu betapa berharganya cinta yang tak pernah sempat hadir, tapi tak pernah hilang.”

Tahun-tahun berlalu. Aku lulus kuliah, bekerja, dan perlahan membangun hidup sendiri. Namun setiap kali aku pulang ke rumah, ayah selalu menungguku di beranda, senyumnya tetap hangat seperti dulu. Di meja kecil di samping kursi tuanya, selalu ada dua cangkir teh, satu untuknya, dan satu… untuk ibu.

β€œUntuk menemani ayah bicara,” katanya suatu sore, saat aku menanyakan hal itu. Aku hanya tersenyum, meski dadaku ngilu. Ayah belum pernah benar-benar sendiri. Cintanya pada ibu seperti pohon tua yang akarnya sudah menyatu dengan bumi.

Suatu malam, aku pulang karena firasat. Ayah jatuh sakit. Ia sudah lemah, dan napasnya semakin pendek.

Di sisi ranjangnya, aku duduk, menggenggam tangannya. Ia menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca tapi tenang.

β€œKau sudah besar, Arga… dan ibu akan sangat bangga padamu.”
β€œAyah… jangan bicara begitu…”
β€œDengarkan ayah. Aku akan segera bertemu ibumu. Jangan tangisi kepergian kami. Tapi bila rindu… pandang langit malam. Kami berdua akan di sana… menatapmu.”

Lalu… dengan satu tarikan napas yang panjang, ayah pun pergi. Seperti tidur. Seperti akhirnya menemukan rumah yang telah lama ia rindukan.

Aku menguburkan ayah di samping makam ibu. Di antara mereka, aku tanamkan syal biru yang pernah kupeluk sepanjang hidup. Tak lagi kupegang, karena kini aku tahuβ€”aku tak perlu mencarinya di dunia ini. Cinta mereka sudah hidup dalam diriku.

Setelah itu, hidupku tak lagi sepi. Rasa kehilangan memang tak pernah pergi, tapi aku belajar, cinta tak membutuhkan kehadiran fisik untuk tetap abadi.

Kini, aku sudah menikah dan punya anak. Putriku kuberi nama *Ratna*. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu bertanya, β€œAyah, apakah nenekku cantik?”

Dan aku akan menjawab dengan senyum, sambil menatap langit:
β€œIa lebih dari cantik. Ia adalah keajaiban yang tak sempat ayah lihat… tapi selalu ayah rasakan.***

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles