Perlu Diketahui HGU, HGB dan SHM
Jakarta, Jurnalsepernas.id – DALAM aturan kepemilikan lahan atau tanah di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UU Agraria. Untuk mengetahui lebih lanjut soal perbedaan HGU, HGB, dan SHM.
Apa Itu HGU?
Menurut Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, HGU bisa diartikan sebagai hak yang diberikan oleh pemerintah kepada perorangan atau badan hukum untuk menggunakan sebidang tanah milik negara, namun hanya dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.
Seseorang atau badan usaha yang berhak memanfaatkan tanah dengan status HGU tersebut, nantinya akan diberikan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), melalui keputusan setingkat Menteri. Sementara untuk jenis usaha yang diperbolehkan umumnya seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan sejenisnya
.
Hal itu dikarenakan tanah negara yang bisa diberikan sebagai tanah HGU hanyalah yang termasuk dalam kategori tanah atau hutan produksi. Atau artinya hutan lindung dan tanah di wilayah konservasi otomatis tidak dapat dialihkan menjadi tanah HGU.
HGU diregulasi dalam sejumlah aturan, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Pakai Tanah. Dan juga revisi aturan terbaru PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Hak atas tanah HGU juga bisa diambil kembali oleh negara meski jangka waktu pemberian, perpanjangan belum habis. Maka dari itu, pemegang tanah HGU wajib benar-benar memanfaatkan tanah yang diberikan, wajib membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan Sumber Daya Alam (SDA) dan menjaga pelestarian lingkungan hidup sesuai dengan peraturan.
Selain tentunya membayar uang pemakaian HGU ke negara.
Apa Itu HGB?
Masih bersumber dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Tepatnya di Pasal 35 ayat 1, Hak Guna Bangunan (HGB) didefinisikan sebagai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang menjadi milik orang lain dalam jangka waktu tertentu.
Artinya, pemegang sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hanya berhak atas kepemilikan bangunan, tidak termasuk tanah tempat di mana bangunan itu berdiri.
Sama seperti HGU. Selain diatur UUPA, regulasi terkait HGB juga diatur dalam sejumlah aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Dan direvisi oleh PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Sedangkan HGB di atas Tanah Hak Milik (swasta) bisa diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Berbeda dengan tanah HGU yang jenis usahanya ditentukan, pemegang sertifikat HGB relatif dapat bebas mendirikan dan memiliki bangunan untuk digunakan dalam berbagai keperluan pribadi ataupun usaha, meski tetap harus sesuai berdasarkan perjanjian pemberian HGB di awal. Selain itu, pemilik juga dapat mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain, asalkan masih berada dalam jangka waktu penggunaan HGB.
Umumnya, lahan dengan HGB ini dimanfaatkan oleh para pengembang untuk mendirikan apartemen ataupun perumahan. Sebab akan ada beberapa kelebihan yang membuat HGB menjadi menarik buat orang yang ingin memiliki rumah atau apartemen, terutama karena harganya yang pasti akan jauh lebih murah daripada membeli bangunan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Beda HGU, HGB, dan SHM
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bisa dilihat jelas bahwa perbedaan mendasar Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Surat Hak Milik (SHM) ada pada status kepemilikan orang yang memegangnya.
Di mana SHM bisa dikatakan memiliki nilai dan kedudukan yang lebih kuat dan lebih tinggi dalam
kepemilikan tanah. Sebab orang yang memiliki SHM berarti mempunyai kuasa penuh atas tanah dan juga bangunan yang ada di atasnya.
Sementara pemegang sertifikat HGB hanya memiliki kuasa atas bangunan atau properti, tanpa memiliki kuasa sama sekali atas lahan di mana bangunan berada. Dan yang paling rendah ada pada HGU, di mana pemilik sertifikatnya hanya sebatas bisa memanfaatkan tanah, tanpa sama sekali mempunyai hak kepemilikan atas tanah dan bangunan yang mungkin ada di atas tanah tersebut.
Selain itu, perbedaan juga ada pada jangka waktu kepemilikan. Ketika SHM memiliki kekuatan hukum dan berlaku selamanya. Sementara berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021, izin HGU hanya maksimal selama 35 tahun, bisa diperpanjang hingga 25 dan diperbaharui lagi 35 tahun.
Sementara HGB yang paling lama 30 tahun, dan diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, serta diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun untuk tanah negara, dan HGB di atas Tanah Hak Milik (swasta) bisa diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. (Sumber: Detikproperti).
Pewarta/Editor: Loh