𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Bungkusan Kecil dari Tangan Ayah

Cerpen Karya: Aisha Pasha Patria
Editor : Loh

NAMANYA Pak Arman. Tubuhnya kurus, punggungnya sedikit bungkuk,
tapi di matanya ada bara kecil yang tak pernah padam:
cinta untuk keluarganya.

Setiap pagi, saat langit masih bergulung kabut,
Pak Arman berangkat bekerja sebagai asisten chef
di sebuah restoran kecil di sudut kota.

Upahnya tak seberapa,
terpotong pajak, potongan seragam, potongan makan siang, hingga kadang sisanya tak cukup untuk membeli sekantung beras.

Tapi Pak Arman tak pernah mengeluh.
Baginya, cukup melihat tawa kecil anak-anaknya di sore hari, sudah lebih dari semua upah di dunia.

Setiap malam, saat restoran tutup dan lampu dimatikan, Pak Arman diam-diam mengumpulkan sisa-sisa makanan:
nasi setengah piring, sayur yang sudah agak layu,
potongan ayam kecil yang tak habis dipesan orang.
Dengan tangan gemetar, ia membungkusnya dengan kertas seadanya.

Ia tahu, ini mungkin tak layak,
tapi ini lebih baik daripada membiarkan anak-anaknya tidur dengan perut kosong.

Di rumah kecil berdinding triplek,
dua anaknya, Nia dan Aldi, menunggu penuh harap.
Mereka tak pernah bertanya kenapa makanannya sering dingin, kenapa ayamnya hanya tinggal tulangnya,
kenapa nasinya kadang berbau sedikit.

Mereka hanya tersenyum, karena di tangan ayah,
semua terasa seperti hidangan paling lezat di dunia.

“Makan, nak… Ayah bawain makanan enak malam ini…”
kata Pak Arman sambil tersenyum lelah.

Nia dan Aldi makan dengan lahap,
sementara Pak Arman hanya duduk di sudut,
menatap mereka dengan mata basah.
Perutnya lapar, sangat lapar, tapi ia lebih memilih melihat anak-anaknya kenyang.

Suatu malam, saat hujan turun deras,
Pak Arman terpaksa pulang lebih lambat.
Tubuhnya menggigil, bajunya basah kuyup.
Namun di tangannya, tetap ada bungkusan kecil, harta paling berharga yang harus sampai ke rumah.

Di tengah perjalanan, ia tersandung, jatuh ke aspal. Bungkus makanannya terbuka, nasi tercampur air hujan, sayur dan ayam kecilnya mengalir bersama lumpur jalanan. Pak Arman terduduk, menatap bungkusan itu, seperti dunia seluruhnya runtuh di hadapannya.

Ia menangis. Menangis sekeras-kerasnya
di bawah hujan, di tengah malam,
seperti seorang anak kecil yang kehilangan seluruh dunianya.

“Ya Allah… jangan biarkan anak-anakku lapar malam ini…”
doanya lirih, patah-patah.

Dengan tangan kotor dan berdarah,
ia mengumpulkan sisa-sisa makanan itu, membungkusnya lagi, dan berjalan tertatih menuju rumah.

Sesampainya di rumah, Nia dan Aldi berlari memeluknya,
tak peduli bungkusan itu sudah basah dan kotor. “Ayah sudah pulang! Ayah bawain makanan lagi!”

Pak Arman tersenyum,
sembari menahan sakit di kakinya.
Mereka makan malam itu, dengan nasi yang tercampur rasa hujan dan tanah, tapi di dalamnya ada rasa cinta yang tak ternilai,
lebih mahal daripada semua hidangan restoran mewah.

Malam itu, Pak Arman berbaring di lantai,
memeluk kedua anaknya yang kenyang dan tertidur pulas, sementara hujan terus bernyanyi di atas atap bocor.
Di dalam hatinya,
ia berbisik:

“Aku mungkin miskin di mata dunia…tapi aku kaya di mata Allah, karena aku telah mencintai mereka sepenuh hidupku…”

Pagi itu, setelah malam yang penuh hujan dan tangis,
Pak Arman berangkat bekerja seperti biasa.
Tubuhnya masih terasa sakit, luka di kakinya masih menganga,
tapi semangatnya lebih kuat dari rasa perih.

Dia berjalan menyusuri trotoar yang basah, ketika tiba-tiba terdengar suara rem mendecit keras diikuti dentuman yang menggetarkan tanah.

Pak Arman berhenti.
Di tengah jalan, dilihatnya sebuah motor terpental,
seorang gadis kecil tergeletak dengan helm yang pecah,
tubuh mungilnya berdarah di aspal hitam. Di dekatnya, seorang lelaki, mungkin ayahnya, juga tak bergerak.

Orang-orang berkumpul di sekeliling, tapi bukan untuk menolong,
melainkan mengangkat ponsel, merekam, berkomentar,
seperti dunia ini telah kehilangan nuraninya.

Tanpa berpikir panjang, Pak Arman berlari menerobos kerumunan. Ia rebahkan tubuhnya di aspal yang dingin,
mengangkat tubuh mungil itu dengan tangannya yang gemetar.

“Tolong! Tolong bantu saya! Ada yang bawa mobil? Ada yang bisa bantu?!” teriaknya parau.

Tapi orang-orang hanya menatap,
beberapa bahkan tertawa kecil,
seolah kesedihan adalah hiburan murah di zaman ini.

Pak Arman berlari, memanggul gadis itu di lengannya, seperti memanggul anaknya sendiri. Darah membasahi bajunya,
tapi ia terus berlari,
melawan rasa sakit, melawan dunia yang sudah dingin.

Di sebuah warung kecil, akhirnya ada seorang ibu tua yang berhenti dan menawarkan tumpangan dengan mobil tuanya.
Dengan napas yang putus-putus,
Pak Arman dan ibu tua itu membawa gadis kecil itu ke rumah sakit terdekat.

Sesampainya di rumah sakit,
dokter segera berlari membawa tandu.
Pak Arman hanya berdiri di depan pintu UGD, tangannya berlumur darah yang bukan darahnya sendiri, matanya kosong, tubuhnya gemetar.

Ketika dokter ke luar beberapa jam kemudian,
ia tersenyum kecil kepada Pak Arman.

“Pak… berkat Bapak, nyawa gadis ini terselamatkan. Kalau saja terlambat sedikit, dia tak akan bertahan…”

Pak Arman terduduk di kursi tunggu. Air matanya jatuh, membasahi lantai putih rumah sakit.

Bukan karena sedih,
bukan karena luka di kakinya yang makin parah, bukan pula karena bajunya yang sudah tak pantas. Tapi karena di tengah dunia yang sibuk menonton derita,
Allah masih memberinya kesempatan menjadi manusia sungguhan, yang memilih menolong meski tak punya apa-apa.

Pak Arman pulang sore itu tanpa gaji harian. Ia dipecat, karena tidak masuk kerja. Tapi ia pulang membawa sesuatu yang lebih besar:
sepotong kecil surga di hatinya.

Senyuman anak-anaknya yang masih hidup, dan doa dari seorang gadis kecil yang akan mengingat wajah Pak Arman sebagai malaikat tanpa sayap.

Malam itu, di rumah kecilnya, Pak Arman duduk memeluk Nia dan Aldi, mengelus kepala mereka sambil berbisik:

“Nak… kalau suatu hari nanti Ayah tak ada, jangan pernah jadi orang yang hanya menonton. Jadilah tangan yang menolong,
sekalipun dunia menertawakanmu…”

Di luar sana, hujan mulai turun lagi,
menghapus jejak-jejak luka di jalan, tapi tidak pernah bisa menghapus jejak kebaikan dari hati yang tulus.

Malam itu, ketika Pak Arman sedang menyuapi Nia dan Aldi dengan sisa nasi hangat, tiba-tiba telepon rumah tuanya berdering, suara nyaring yang membuat hatinya bergetar. Jarang ada yang menghubungi mereka.

Dengan hati-hati, Pak Arman mengangkat gagang telepon.

“Halo, ini Pak Arman?”
suara di seberang terdengar ramah, namun tegas.

“Iya, saya sendiri…” jawab Pak Arman, bingung.

“Kami dari keluarga korban kecelakaan kemarin. Mohon maaf mengganggu, kami ingin sekali bertemu dengan Bapak di rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan…”

Pak Arman diam sejenak. Matanya melirik ke arah Nia dan Aldi yang tengah bercanda kecil di sudut ruangan,
menjahit mainan robek dengan tangan kecil mereka.

Ketakutan menghampiri hatinya.
Bagaimana jika mereka hanya ingin menyalahkannya?
Bagaimana kalau mereka menuduhnya mengganggu korban?

Dan yang paling ia takutkan: Siapa yang akan menjaga anak-anaknya?
Rumah mereka tak punya tetangga dekat,
dan ia tak tega meninggalkan kedua malaikat kecil itu sendirian.

“Maaf… mungkin lain kali saja… Saya harus menjaga anak-anak saya…” suara Pak Arman gemetar, penuh keraguan.

Tapi suara di telepon itu bersikeras dengan lembut, seolah tahu apa yang menghalangi hatinya.

“Pak Arman, kami mohon sekali…
ini penting, sungguh penting. Kalau Bapak mau, kami bisa kirim orang ke rumah untuk menjaga anak-anak sebentar saja, orang yang bisa dipercaya… kami mohon…”

Pak Arman memejamkan mata. Ia merasa Allah sedang menggerakkan sesuatu. Dengan berat hati, ia mengangguk, meski hatinya penuh was-was.

Beberapa menit kemudian,
datanglah seorang wanita paruh baya, berseragam rapi,
membawa ID dari rumah sakit.
Dengan ramah, wanita itu menenangkan Nia dan Aldi membawakan roti hangat dan susu.

Akhirnya, dengan langkah ragu,
Pak Arman mengikuti mobil hitam kecil yang menjemputnya menuju rumah sakit.

Di ruang rawat VIP,
seorang pria paruh baya berjas mahal sudah menunggunya.
Wajah pria itu penuh luka dan kantung mata hitam karena menangis.

Di samping pria itu, duduk gadis kecil yang kemarin diselamatkan,
sekarang sudah lebih baik, tersenyum malu-malu ke arah Pak Arman.

Pria itu berdiri, mendekat,
lalu tiba-tiba membungkuk,
mencium tangan Pak Arman dengan penuh hormat.

“Pak Arman… saya Ayah dari Alya. Saya pemilik perusahaan besar di kota ini. Anda telah menyelamatkan harta paling berharga dalam hidup saya.
Tak ada kata cukup untuk membalas kebaikan Bapak…”

Pak Arman tergagap, bingung harus berkata apa.
Matanya berkaca-kaca.

Pria itu mengulurkan sebuah amplop tebal.
“Ini… sekadar ucapan terima kasih kami.
Tolong terima…”

Tangan Pak Arman gemetar. Ia tak pernah memegang uang sebanyak itu seumur hidupnya.

“Pak… bukan hanya itu. Kami ingin menawarkan Bapak pekerjaan di perusahaan kami.
Sebagai staf dapur di restoran mewah kami yang baru. Gajinya tetap, tunjangan lengkap, dan asuransi untuk anak-anak Bapak. Bapak tak perlu khawatir lagi soal makan dan sekolah mereka…”

Pak Arman terduduk.
Kakinya lemas.

Air mata yang sudah lama ia tahan, akhirnya jatuh bercucuran.
Bukan karena harta.
Tapi karena cinta Allah, karena pertolongan yang datang dari arah yang tak disangka-sangka.

Di hatinya, Pak Arman berbisik: “Ya Allah… ini balasan-Mu untuk sedikit kebaikan hambaMu yang hina ini…”

Malam itu, Pak Arman pulang membawa lebih dari sekadar amplop, lebih dari sekadar janji pekerjaan.

Ia pulang membawa harapan baru,
cahaya baru untuk Nia dan Aldi, cahaya yang bersinar lebih terang daripada seluruh bintang di langit.

Dan di pojok rumah kecilnya, Pak Arman sujud, bersyukur dalam diam,
sambil mendekap kedua anaknya yang tertawa kecil di pelukannya.***

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles