𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀 - 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀

Mawar yang Tak Pernah Layu”

Cerpen Karya: Dewi Rahayu
Editor : Loh

DARI sebuah desa yang tenang, tinggal sepasang suami istri, Bu Fatma dan Pak Sagara. Mereka memiliki dua putri yang cerdas: Mawar, si sulung yang kalem dan tekun, serta Melati, si bungsu yang ceria dan ekspresif.

Mawar duduk di kelas 3 SMP, sementara Melati di kelas 1 SMP. Kedua gadis itu sama-sama berprestasi: Mawar selalu ranking 3, Melati tak pernah turun dari ranking 1.
Namun, perhatian orangtua mereka tak pernah seimbang.

Suatu sore di ruang makan…

Mawar tak sengaja menjatuhkan gelas kaca, suaranya pecah menggelegar.

Bu Fatma: (dengan nada tinggi)
“Astaga, Mawar! Bisa nggak sih kamu hati-hati sedikit? Baru juga diberesin!”

Mawar: (menunduk, suaranya gemetar)
“Maaf, Bu… Mawar nggak sengaja.”

Bu Fatma:
“Selalu aja kamu yang bikin repot. Dasar ceroboh!”

Namun seminggu kemudian…

Melati: (panik)
“Ih, HP Melati hilang! Kayaknya ketinggalan di kafe kemarin…”

Pak Sagara: (tenang)
“Sudah, sudah. Nanti Ayah belikan yang baru, ya. Jangan sedih.”

Bu Fatma: (mengelus kepala Melati)
“Iya, sayang. Namanya juga barang, bisa hilang. Yang penting kamu nggak kenapa-napa.”

Mawar hanya diam dari balik dinding, menggenggam erat buku pelajarannya, menahan isak yang tertahan di tenggorokan.

Tahun berlalu…

Saat Mawar hendak masuk SMA…

Mawar:
“Bu, sepatu Mawar udah mulai sempit. Bisa dibeliin yang baru, nggak?”

Bu Fatma:
“Masih bagus itu! Jangan boros! Sepatu nggak harus baru buat sekolah.”

Namun seminggu kemudian…

Melati:
“Ma, sepatuku udah bosan. Boleh beli yang warna putih kekinian itu, nggak?”

Bu Fatma:
“Boleh, nanti Mama antar ke mall ya.”

Semua itu terus berulang. Ketika kuliah pun, Mawar harus menumpang laptop teman. Sedangkan Melati langsung dibelikan laptop keluaran terbaru.

Mawar (dalam hati):
“Apa aku anak kandung mereka juga?”

Namun Mawar memilih diam, terus belajar, dan membuktikan dirinya lewat prestasi.

Setelah lulus kuliah…

Mawar diterima di perusahaan besar di Jakarta. Ia pindah, nge-kost di dekat kantor. Sementara Melati masih sibuk nongkrong, skripsi tak kunjung rampung.

Hingga suatu malam…

Bu Fatma: (tersedu di telepon)
“Mawar… Melati hamil… Dia nggak tahu siapa ayahnya…”

Mawar terdiam. Hatinya perih, bukan karena kaget, tapi karena luka lama yang menganga kini terasa seakan tak pernah dihargai.

Tak lama kemudian, Pak Sagara mengalami serangan jantung dan lumpuh sebagian akibat stroke. Keuangan keluarga hancur, aset demi aset dijual. Melati pun masih kerap membuat masalah, seolah tak belajar dari kesalahannya.

Di rumah sakit, saat Mawar pulang menjenguk…

Bu Fatma: (memeluk Mawar sambil menangis)
“Maafkan Mama, Nak… Mama terlalu buta. Mama baru sadar siapa yang benar-benar sayang sama Mama dan Ayah.”

Mawar: (tersenyum sendu, menghapus air mata ibunya)
“Mawar nggak pernah minta dibalas, Bu. Mawar cuma ingin lihat Mama dan Ayah baik-baik aja.”

Pak Sagara: (lemah tapi menatap putrinya penuh penyesalan)
“Maafkan Ayah juga, Nak. Kami terlalu terlena oleh Melati… dan lupa bahwa bunga yang tumbuh diam-diam bisa jadi yang paling kuat akarnya.”

Mawar: (menggenggam tangan ayahnya)
“Mawar mungkin bukan yang paling Mama dan Ayah sayang… tapi Mama dan Ayah tetap orang tua Mawar. Dan Mawar akan jaga Mama dan Ayah, sampai kapan pun.”

Sejak saat itu, Mawar menjadi tulang punggung keluarga. Ia membiayai pengobatan ayahnya, kebutuhan rumah, bahkan tetap mengirim uang untuk Melati meski dalam diam, hatinya masih menyimpan luka.

Namun Mawar tak pernah membalas dengan benci. Ia hanya ingin mereka tahu: cinta yang tulus tak butuh alasan.

Dan di tengah dunia yang kadang tak adil, Mawar adalah bukti bahwa ketulusan, meski tak selalu dibalas, tetap tak akan pernah sia-sia.***

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles