Diperbaiki oleh Nabi Dirusak oleh Umatnya
Oleh: Muhammad Faisal AS
Penulis: Kepala Biro Jurnalsepernas.id Samarinda
LEBIH dari 14 Abad yang lampau diutuslah seorang Nabi dan Rasul dari golongan Umat Muslim di tanah haram/jazirah Arab yang bernama Muhammad Shalallahu Alahi Wassalam (SAW). Ia diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhanahu Wa Ta’alla (SWT) ke bumi untuk membawa suatu ajaran yang dikenal sampai saat ini yaitu ajaran/agama Islam.
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai Rahmatan lil alamin bagi umat manusia, ia diutus dengan pertama kali tujuannya adalah memperbaiki akhlak umat manusia yang pada saat itu masih bersifat Jahiliyah atau penuh dengan kemungkaran.
Ia (Nabi) membawa sifat akhlakul karimah wa uswatun hasanah (Akhlak yang Baik dan Terpuji serta Suri Tauladan yang Baik), sehingga dapat diterima oleh umat manusia pada saat itu walaupun dengan jalan yang tidak mudah untuk mengajak umat di jaman jahiliyah itu mengikuti akhlaknya Nabi.
Seiring berjalannya waktu, Nabi Muhammad SAW mulai diterima dan makin banyaklah umat yang meyakini dan mengimani Allah dan Rasulnya, lalu diangkatlah Nabi menjadi seorang Umara (Pemimpin) Umat Muslim karena panutan suri tauladan yang sungguh benar akan daripada Akhlak dan perbuatannya.
Akan hal tersebut atas Kepemimpinan Nabi menjadi kepemimpinan yang terbaik bagi umat saat itu, oleh karena sifat Nabi yang adil, bijak serta sungguh sungguh mengayomi umatnya, pengangkatan Nabi menjadi seorang pemimpim pun dengan tidak ada menzolimi insan atau umat lainnya serta dengan tidak ada melukai atau membunuh ataupun hal-hal yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Namun berbeda dengan zaman sekarang, umat manusia dari golongan agama apapun berbondong-bondong, berlombaβlomba berkompetisi untuk dapat menjadi seorang pemimpim dengan menghalalkan segala cara, tidak ada lagi rasa malu atas perbuatan salah yang dilakukannya, yang penting hasrat untuk menjadi pemimpim dapat terwujudkan. Ada pun satu contoh ironi zaman sekarang menjadi pemimpin adalah dengan cara memberi sogokan atau suap berupa uang dan barang kepada umat, agar ia dipilih menjadi pemimpin serta pun berbuat curang yang jelas-jelas itu adalah perbuatan yang haram.
Mirisnya dengan hal tersebut adalah adanya sebagian dukungan dari oknum yang bergelar Warisatul Anbiya (Ulama) yang ikut membiarkan bahkan terkesan mendukung daripada perbuatan tersebut atas dasar fulus, sehingga gelarnya pun bertambah yaitu ulama Imanuhum Fii Amplofihim (Ulama yang Imannya Tergantung Isi Amplop).
Nafsu dan hasrat yang ambisi si calon pemimpin, ia tidak menyadari bahwa ia telah merusak akhlakul umat yang telah diperbaiki Nabi setelah zaman Jahiliyah, ia pun tidak menyadari bahwa balasan apa yang akan ada terima kelak di alam akhirat, mungkin Neraka Jahanam? Naudzubillahi Minzalik.*