πŽπ‹π€π‡π‘π€π†π€

Ketika PSSI Menjadi Pelatih Utama Kekacauan

Oleh: Rosadi Jamani
Penulis: Adalah Ketua Satupena Kalbar

SEBUAH tragedi sepak bola sedang ditulis di negeri ini. Pena beracun itu berada di tangan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Pemecatan Shin Tae-yong (STY), sang arsitek kebangkitan Tim Nasional (Timnas) Indonesia adalah sebuah babak yang tidak hanya membuat hati para pendukung Garuda hancur, tetapi juga melahirkan amarah yang membara di dada mereka. Drama ini tidak lagi sekadar tentang sepak bola. Ini tentang penghinaan terhadap mimpi dan harapan bangsa.

STY adalah pelatih yang datang dengan misi suci. Di bawah asuhannya, squad Garuda yang dulunya dipandang sebelah mata negara-megara Asia, kini mulai bangkit dari tidur panjangnya. STY bukan sekadar pelatih. Dia juga adalah harapan, simbol perjuangan, dan bagi banyak orang, alasan untuk kembali percaya pada Garuda. Tapi, apa yang dilakukan PSSI? Mereka melemparkan dia ke jurang ketidakadilan dengan cara yang kejam dan tanpa ampun.

Effendi Gazali, pakar komunikasi politik yang juga mewakili rasa kecewa rakyat, menyebut pemecatan STY sebagai “jebakan”. Tidak salah. Target yang diberikan kepada STY di Piala AFF adalah misteri besar. Seperti teka-teki tanpa jawaban. Lolos Piala Dunia 2026? Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali menetapkan mimpi tak realistis itu. Apakah PSSI bermimpi di siang bolong, atau sekadar mencari kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuan mereka sendiri?

β€œSiapa yang pertama kali bilang target kita masuk Piala Dunia 2026?” tanya Effendi. Tapi tentu saja, PSSI seperti biasa bungkam. Mungkin karena jawaban mereka terlalu memalukan untuk diungkapkan. Seakan ingin menambah kekacauan, target di Piala Asean Foofball Federation (AFF) pun berubah-ubah seperti cuaca di bulan Januari. Satu detik bicara soal juara, detik berikutnya tidak ada target sama sekali. Ini adalah puncak dari inkonsistensi, bukti nyata bahwa strategi mereka lebih cocok untuk permainan monopoli ketimbang sepak bola nasional.

Puncaknya? Pemecatan Shin Tae-yong. Bukan hanya sebuah langkah sembrono, tapi juga penghancuran langsung terhadap mimpi-mimpi rakyat Indonesia. Dengan STY, kita melihat generasi muda seperti Pratama Arhan dan Marselino Ferdinan tumbuh menjadi bintang yang bersinar. Kita melihat tim yang dulu sering dianggap penggembira mulai berdiri sejajar dengan raksasa Asia Tenggara, bahkan Asia. Tapi semua itu dihancurkan dalam sekejap oleh keputusan yang bahkan tidak masuk akal bagi penggemar sepak bola pemula sekalipun.

Fans Garuda kini hanya bisa menggertakkan gigi dalam kemarahan. Media sosial penuh dengan seruan, petisi, bahkan ancaman boikot. Mereka tahu, pemecatan STY bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang membawa kita kembali ke era kelam sepak bola nasional. Kembali setelan pabrik. PSSI, dengan segala kekuasaannya, tampaknya lupa bahwa sepak bola bukan milik segelintir elit, melainkan milik jutaan rakyat yang rela berkorban demi melihat Garuda terbang tinggi.

Mereka lupa, bahwa STY adalah pelatih yang tidak hanya melatih pemain, tetapi juga memberikan rakyat sesuatu yang jauh lebih berharga, harapan. Sekarang, harapan itu diinjak-injak tanpa belas kasihan.

Namun, harapan tidak pernah mati. Dibalik tragedi ini, fans Garuda bersumpah akan terus berjuang. Bukan hanya untuk Shin Tae-yong, tetapi untuk masa depan sepak bola Indonesia. Karena Garuda, meskipun sayapnya dilukai, akan selalu bangkit. Suatu hari nanti, mereka yang menghancurkan mimpi ini akan melihat bahwa bangsa ini tidak pernah lupa.

PSSI mungkin bisa memecat pelatih, tapi mereka tidak akan pernah bisa memecat suara rakyat. Suara itu kini bergema lebih keras dari sebelumnya, “Hancurkan sistem bobrok, selamatkan sepak bola Indonesia.*

Laode Hazirun

Ketua Umum Jurnal Sepernas."Sepernas satu2nya organisasi pers dari Indonesia timur yg merancang UU Pers tahun 1998 bersama 28 organisasi pers" HP: 0813-4277-2255

Related Articles